SEBAGAI orang yang tinggal di kampung, diperbatasan kota yang dihuni mayoitas buruh ditanya soal aksi 2 Desember 2016 atau aksi 212. Sebagai sebuah refleski aksi damai yang terjadi pada tanggal 4 November 2016.
Maka kita perlu pembatasan yakni status tersangka Ahok. Lalu pertanyaan sederhananya mengapa ketika Ahok sudah diberi label status tersangka, atas nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI masih menggelar aksi susulan?
Karena ini pertanyaan sederhana yang dilontarkan maka dibutuhkan jawaban yang tidak hanya sederhana namun juga jelas dan menjadi prioritas. Jawaban tersebut adalah karena ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum maupun pemerintah dalam menegakkan keadilan.
Maka kita perlu kesampingkan propaganda bahwa aksi tersebut sebagai aksi makar, aksi anti Pancasila, anti Bhineka Tunggal Ika, aksi SARA, anti NKRI, maupun antara minoritas dengan mayoritas. Namun kita sebagai warga negara yang baik juga perlu mewaspadai jika hal-hal itu terjadi, oleh karena kita masih menjalankan kemerdekaan politik dari pada kemerdekaan kebudayaan.
Pokok inti dari penghayatan aksi 212, dan saya menamainya aksi sableng solanya teringat film masa kecil yakni pendekar kapak naga geni 212 dengan lakonnya Wiro Sableng dan gurunya bernama Sinto Gendeng. Inti aksi tersebut apa? Sudah sangat jelas bahwa ini soal penegakan keadilan.
Lalu mengapa keadilan tidak kunjung datang? Begitupun di sini saya tidak akan membincang kondisi Indonesia yang terperangkap design kolonialisasi Tiongkok, di mana Ahok sebagai proxi yang dilindungi 9 naga yakni Aguan, Tomi Winata, James Kristiadi, Ciputra, Antonio Salim, Grup Jarum, Sopyan Wanandi, Podomoro, Agung Sendayu, Sinar Mas). Pada dataran misinya untuk menguasai Indonesia dalam ruang Sosbudhankamnas.
Soal mengapa keadilan tidak kunjung datang, ini sama halnya mengapa imperialisme politik tetap bernaung di negeri ini. Jawabannya karena kekuatan pejuang anti penjajahan. Kekuatan tersebut lemah oleh karena faktor antara lain pengkhianatan dari pihak bangsa sendiri.
Para pejuang dan pendukung keadilan yang masih lemah baik dari sisi gerakan maupun dari sisi konsep serta pemikiran. Tidak banyak pejuang keadilan yang memahami bahwa untuk tegaknya keadilan diperlukan dua syarat yang bersifat mutlak yaitu: sistem yang adil dan pelaksana sistem yang cerdas dan adil pula.
Maka tegakkan keadilan, baik keadilan hukum untuk Ahok dan tentunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Sebab kemerdekaan 45 yang telah dicapai bukan tujuan akhir, namun untuk meraih hak kita yakni kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.
Ini adalah jawaban dari orang kampung untuk orang kampung. Mari kita jaga keutuhan NKRI dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Salam sejahtera dan salam damai untuk Indonesia tercinta. (Lukni An Nairi)
Maka kita perlu pembatasan yakni status tersangka Ahok. Lalu pertanyaan sederhananya mengapa ketika Ahok sudah diberi label status tersangka, atas nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI masih menggelar aksi susulan?
Karena ini pertanyaan sederhana yang dilontarkan maka dibutuhkan jawaban yang tidak hanya sederhana namun juga jelas dan menjadi prioritas. Jawaban tersebut adalah karena ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum maupun pemerintah dalam menegakkan keadilan.
Maka kita perlu kesampingkan propaganda bahwa aksi tersebut sebagai aksi makar, aksi anti Pancasila, anti Bhineka Tunggal Ika, aksi SARA, anti NKRI, maupun antara minoritas dengan mayoritas. Namun kita sebagai warga negara yang baik juga perlu mewaspadai jika hal-hal itu terjadi, oleh karena kita masih menjalankan kemerdekaan politik dari pada kemerdekaan kebudayaan.
Pokok inti dari penghayatan aksi 212, dan saya menamainya aksi sableng solanya teringat film masa kecil yakni pendekar kapak naga geni 212 dengan lakonnya Wiro Sableng dan gurunya bernama Sinto Gendeng. Inti aksi tersebut apa? Sudah sangat jelas bahwa ini soal penegakan keadilan.
Lalu mengapa keadilan tidak kunjung datang? Begitupun di sini saya tidak akan membincang kondisi Indonesia yang terperangkap design kolonialisasi Tiongkok, di mana Ahok sebagai proxi yang dilindungi 9 naga yakni Aguan, Tomi Winata, James Kristiadi, Ciputra, Antonio Salim, Grup Jarum, Sopyan Wanandi, Podomoro, Agung Sendayu, Sinar Mas). Pada dataran misinya untuk menguasai Indonesia dalam ruang Sosbudhankamnas.
Soal mengapa keadilan tidak kunjung datang, ini sama halnya mengapa imperialisme politik tetap bernaung di negeri ini. Jawabannya karena kekuatan pejuang anti penjajahan. Kekuatan tersebut lemah oleh karena faktor antara lain pengkhianatan dari pihak bangsa sendiri.
Para pejuang dan pendukung keadilan yang masih lemah baik dari sisi gerakan maupun dari sisi konsep serta pemikiran. Tidak banyak pejuang keadilan yang memahami bahwa untuk tegaknya keadilan diperlukan dua syarat yang bersifat mutlak yaitu: sistem yang adil dan pelaksana sistem yang cerdas dan adil pula.
Maka tegakkan keadilan, baik keadilan hukum untuk Ahok dan tentunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Sebab kemerdekaan 45 yang telah dicapai bukan tujuan akhir, namun untuk meraih hak kita yakni kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.
Ini adalah jawaban dari orang kampung untuk orang kampung. Mari kita jaga keutuhan NKRI dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Salam sejahtera dan salam damai untuk Indonesia tercinta. (Lukni An Nairi)