google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Metafisika dalam Kesusasteraan Jawa

DALAM perkembangan dan penyebaran agama di jawa sebelum Islam datang, orang Jawa telah memiliki suatu kepercayaan berupa animisme dan dinamisme yang memuja roh nenek moyang, dan percaya terhadap kekuatan gaib yang terdapat pada benda, tumbuh-tumbuhan dan binatang yang dianggap memiliki kesaktian. Tetapi kepercayaan dan pemujaan diatas belum memiliki identitas keragaman yang nyata dan sadar.

Setelah suku Jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu barulah para golongan bangsawan dan cendikiawan Jawa menerima pengarun Hinduisme yaitu mengerti bahasa sansekerta, yang akhirnya berkembang dengan mengolah huruf-huruf yang berasal dari Hindu sebagai dasar untuk menulis bahasa Jawa, d engan menggunakan tulisan huruf Jawa perhitungan tahun saka, merupakan modal bagi pertumbuhan dan perkembangan kesusasteraan Jawa.

Dengan masuknya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha), kebudayaan dari tanah India ini bersifat ekspansif. Sedangkan kebudayaan Jawa bersifat yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja. Akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Disini para budayawan Jawa bertindak aktif, yakni berusaha mengolah unsur agama dan kebudayaan Jawa.

Kisah Mahabharata dan Ramayana dari bahasa sansekerta yang di sadur dan diterjemahakan kedalam bahasa Jawa merupakan awal yang membawa pertumbuhan kesusasteraan Jawa, sehingga perkembangan kesusasteraan ini menjadi sarana efektif mengembangkan berbagai cabang kebudayaan Jawa. Perkembangan ini melahirkan pula kerajaan-kerajaan besar sesudah abad ke-5 M seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram kuno, Singasari, Kediri, Majapahit, Demak, Mataram Islam, dan lain-lain sebagaimana telah diulas sebelumnya Kerajaan besar ini membawa pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan feodal yang tumbuh subur.

Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira pertengahan abad ke-15 M kepustakaan Hindu-Budha mengalami zaman keemasan naskah-naskah agama Siwa yang menjadi sumber pengetahuan tentang ajaran kepercayaan Hindu-Jawa mewujudakan buku-buku pegangan bagi pelaksanaan yoga dalam agama Siwa yang mempunyai maksud untuk memberi saran yang cocok kepada para murid supaya dapat terhubung dengan Tuhan, dengan Siwa.

Sumber yang paling utama bagi konsep mengenai Tuhan atau ajaran tentang sangkan paraning dumadi (metafisika) dan ajaran tentang manunggaling kawula gusti (mistika) yang berasal dari paham Hinduisme dan Budhisme yang berkaitan dengan kebudayaan dan masyarakat Jawa pada zaman dahulu kala adalah syair Hanacaraka selain merupakan penciptaan abjad Jawa juga merupakan karya seni sastra Jawa yang berisi kebatinan.

Penciptaan syair hanacaraka itu ialah Janabhadra orang Jawa asli yang menjadi dan pendeta Budha Hinayana dan menjabat Emban Tuwanggana dan mahapatih Mangkubumi dan maharaja Hindu Agastya bernam Sanjaya (723-744) yang berasal dari ras Arya, Janabhadra adalah orang yang pertama kali menjawanisasikan Hinduisme dan Budhisme atau yang disebut istilah “kebatinan” terhadap orang Jawa sendiri menyebutkannya dengan istilah kawruh Kejawen atau Jawaisme kebatinan ini merupakan kebudayaan spiritual keraton Jawa lama yang terdapat unsur sinkretisme antara mistik agama Hindu dan Budha yang berperan sebagai intinya dengan kepercayaan jawa kuno. Menurut Prof.Dr.H.M.Rasyidi, metafisika atau sangkan paraning dumadi merupakan suatu dasar konsepsi yang dapat membentuk thesis mistik, moral dan ilmu ghaib atau occultisme.

Sehingga Islam sufi sangat diminati wong cilk karena alam pikiran tarekat menyuburkan warisan religi animisme-dinamisme yang sebelumnya sudah menjadi kepercayaan bagi masyarakat terutama orang Jawa yang hidup didaerah pedesaan dan pesisir.

Keyakinan orang Jawa yang telah mengenal Islam terhadap Tuhan sangatlah mendalam dan hal itu dituangkan dalam suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos.

Konsep keagamaan mengenai Tuhan dalam kejawen dilambangkan sebagai Dewaruci diadopsi oleh para pemimpin keagamaan, cendikiawaan, selama masa kekuasaan Islam masuk ke pulau Jawa, yang menulis kesusasteraan Jawa dengan unsur-unsur agama Islam di Mataram antara abad ke-16 dan abad ke-18. Kesusasteraan ini terdiri dari serat centini, primbon dan suluk.

Konsep-konsep keagamaan yang berasal dari Dewaruci juga dimasukkan kedalam beberapa karangan yang mengandung pandangan magis dan mistik yang sangat berorientasi kepada kejawen, seperti serat Darmogandul dan serat Gatholoco. Konsep mengenai Tuhan juga dapat dijumpai dalam karya para pujangga kraton seperti YasadipuraI dan putranya Yasadipura II, serta Raden Ngabehi Ranggawarsita, dalam gubahannya yang berjudul serat Sasana Sunu Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan mengenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia.

Dalam konsep mistik Dewaruci terdapat dua aliran yaitu:
a.        Pandangan tentang Tuhan yanag bersifat pantheistis yang menganggap Tuhan sebagai tak terbatas dan sebaliknya dapat berbentuk kecil yang terdapat pada diri manusia.
b.        Pandangan monistis yang menganggap Tuhan sebagai yang maha besar, tetapi berada didalam segala bentuk kehidupan dalam semesta, termasuk manusia yang hanya makhluk yang sangat kecil diantara segala yang ada. Kedua macam pandangan ini mempunyai perbedaan pokok dalam pandangan Islam orthodok yang sifatnya monotheistis yang menganggap bahwa Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, dan manusia hanya merupakan makhluk yang tidak berarti jika dibandingkan dengan Tuhan.

Pertumbuhan Islam kejawen dalam hal ini yang  membahas tentang mistik islam kejawen lantaran mistik Islam menjadi inti kandungannya mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat setelah berdirinya kerajaan Demak dan kerajaan Jawa Islam Mataram. Diantara peninggalan kepustakaan mistik Islam kejawen yang paling tua, masih dapat ditemukan, dan menurut perkiraan berasal dari abad enam belas yaitu: dua manuskrip yang kemudian terkenal dengan nama  Het Boek van Bonang (buku sunan bonang) dans Een Javaanse Primbon Vit De Zestiende Eeuw (primbon Jawa abad enam belas) kitab yang terlebih dulu ada dari kedua manuskrip diatas, adalah serat suluk sukarsa, kitab ini berisi tentang ajaran mistik Islam kejawen yang mirip dengan kidung Hamzah Fansuri. (Pondokbanjar)

Sumber bacaan:
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, 1988
Simuh, Sufisme Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002
Harun Hadiwiyono, Konsep Tentang Manusia Dan Kebatinan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1983
Sufa’at M, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan, Yogyakarta: Kota Kembang, 1984
Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Gramedia 1994