google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Obituari Pramoedya Ananta Toer: Nasionalisme yang Dibunuh Dua Kali

Foto: Lukisan karya Eko Tunas
Oleh: Eko Tunas*

BAGI saya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar penulis, apalagi pengarang. Apalagi dari jenis sastrawan yang “bernyanyi sunyi” di tengah carutmarut bangsa. Tentang karyanya bahkan tidak perlu dibicarakan, apalagi dengan teori kesenian. Pun pembicaraan bahwa melalui tetra novelnya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca – dia diusulkan menerima hadiah Nobel, musti selesai hari ini. Termasuk hadiah-hadiah yang telah diterimanya, yang mungkin oleh Pram sendiri hanya dianggap tapak kakinya. Hanya bagian “kesehariannya” di tengah jejak perjalanannya sebagai anak bangsa.

Keseharian Pram sebagai seorang yang sederhana. Seperti yang pernah dilukiskan, Pram yang mulai bekerja di pagi hari hingga larut malam. Berkaos oblong dan bersarung, menyapu halaman rumah lalu membakar sampah, kemudian sarapan pagi. Memasuki ruang kerja di rumahnya, hanya dengan mesin ketik manual yang telah tua. Tidak hanya menulis, tapi juga mengkliping, bahkan menjilid sendiri rencana bukunya. Dan dia menulis tentang kehidupan bangsanya, seperti yang disaksikannya, bahkan disaksikan siapa pun yang masih memiliki mata dan bisa melihat. Kecuali mereka yang punya mata tapi yang dilihat hanya penglihatannya sendiri.

Mungkinkah dari kesederhanaan semacam ini, layak dicurigai dengan alasan apa pun sebagai orang yang mau menghancurkan negerinya sendiri. Apalagi setelah kita membaca karya-karyanya, yang lebih banyak mengungkapkan kemanusiaan. Seorang ibu tua pensiunan penilik sekolah di jaman peralihan, dengan santai membaca Bumi Manusia di teras rumah, di era kekuasaan Orde Baru. Satu era yang dengan atas nama Pancasila membrangus semua karya Pram, memenjarakan penulisnya, dan menangkap siapa pun yang kedapatan membaca buku-buku Pramoedya. Dan apa pendapatnya setelah rampung membaca, “buku ini sangat Pancasilais.”

Begitu kotornya politik, seperti yang pernah saya saksikan, masih di era kekuasaan Soeharto. Di satu diskusi buku Sang Pemula di Jakarta, sebagai penyuntingnya Pram datang, tanpa tegursapa. Maklumlah, di era itu sangat beresiko untuk mendekati tahanan politik seklas Pramoedya. Kecuali beramahtamah dengan pejabat atau tokoh Orba. Pram membaur di antara pengunjung, dan hanya sedikit yang tahu dia dalam pengawalan militer berbaju sipil. Memasuki acara diskusi, seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada Pramoedya. Pram pun berbisik-bisik dengan “pengawalnya”, lalu berkata, “maaf, saya tidak diijinkan bicara oleh Bapak ini…”

Saat itu Pram berstatus tahanan rumah. Tak terbayangkan saat dia sebagai tahanan Pulau Buru di awal rezim sang jendral besar. Bekas tapol asal Tegal yang satu camp dengan Pramoedya mengisahkan. “Pak Pram sehari-hari ya seperti kami, mencangkul, berladang di bawah terik matahari, sampai kulit jadi hitam.” Dituturkan pula, semua tapol tak diperbolehkan berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk mendengarkan radio atau membaca koran. “Pak Pram juga tidak boleh menulis. Tapi Pak Pram tak kurang akal, beliau berkarya secara lisan dengan cara mendongeng di hadapan kami. Jadi saya termasuk yang pertama tahu cerita Bumi Manusia,” jelasnya bangga.

Tentang pendapat yang mengatakan bahwa Bumi Manusia sangat Pancasilais, ia pun bersetuju. “Pak Pram memang seorang nasionalis, dibanding kami yang hanya ikut-ikutan PKI dan tidak tahu menahu mengenai pemberontakan G 30 S,” ungkapnya, “dan Bumi Manusia memang dimaksudkan Pak Pram sebagai penanaman jiwa nasionalisme kepada kami, terutama dalam soal harga diri sebagai anak bangsa.” Bahwa, Nyai Ontosoroh yang bertsatus gundik seorang Belanda di jaman penjajahan begitu kuat memegang prinsip kewanitaan dan harga diri di hadapan “sang suami”. Dan sikap mental inilah yang dalam cerita ditanamkan kepada Minke, seorang tokoh muda.

Sikap mental seperti inilah yang sejak jaman kolonialisme hingga rezim kapitalisme sekarang dimatikan. Dan Pramoedya adalah simbol nasionalisme yang dibunuh berkali-kali itu. Bagaimana di jaman penjajahan dia di penjara, juga di jaman pendudukan Jepang, sampai di masa kemerdekaan hingga Orde Baru. Tapi dia memang bukan klas seniman yang baru mengalami pelarangan terhadap satu karyanya lantas jadi frustasi. Bukan pula dari jenis kaum intelektual yang mengenyam pendidikan di Amerika lalu mempraktekkan hasil pendidikan Baratnya di negeri sendiri. Juga bukan cecunguk yang menjelek-jelekkan bangsa sendiri, terutama di luar negeri.

Pramoedya adalah seorang anak manusia yang sejak muda meyakinkan diri untuk menjalani hidupnya sebagai penulis. Seorang anak bangsa yang tidak pernah mengenyam perguruan tinggi apalagi menempuh pendidikan di luar negeri. Dia hanya pernah duduk di bangku sekolah kebangsaan setingkat SMU, pendidikan Taman Siswa. Dan dia mempraktekkan yang pernah diajarkan gurunya tentang kebesaran Dharmawangsa, raja besar di jaman Mataram lama. Terutama cita-cita mulia raja yang lebih suka membangun perpustakaan daripada membesarkan bala tentaranya. Tentang kepanditaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah.

Untuk itu resiko atas ketajaman penanya memang musti dihadapainya, tanpa lari dari gelanggang. Dan dunia memang menyaksikannya, sekaligus sebagai saksi sikap mental atas jiwa nasionalismenya. Karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa, dan buku-buku terjemahannya dikabarkan best seller justru di luar negeri. Bahwa publik pembacanya di berbagai negara ingin menjadi penyaksi tentang seseorang yang menjadi simbol anak bangsa yang tetap tegak meski terpidana di negeri sendiri. Mereka bukan publik mentalist macam Deddy Corbucier, meski ketajaman pena Pramoedya memang bagai mentalist yang mampu mengundang simpati.

Sebagaimana mentalist yang pernah dimiliki negeri ini, Soekarno, yang mampu meyakinkan dunia bahwa Indonesia ada. Bahkan pada era kepemimpinannya mampu meyakinkan negara adi kuasa, bahwa Indonesia mempunyai kekuatan sama dengan Amerika. Sehingga Washington pun menghormati Jakarta, sebagai pemerintahan yang duduk sejajar. Bahwa Indonesia negara besar dengan kebesaran negarawan dan tokoh-tokohnya. Bahkan suaranya didengar di forum-forum internasional, kalau perlu menggebrak. Bukan macam cecunguk yang datang dengan munduk-munduk, menjilat, kalau perlu menjual tanah dan kehormatan bangsa.

Nasionalisme memang harus tetap hidup, meski dibunuh berkali-kali. Dan bagi saya, sebagaimana “Soekarno”, “Pramoedya” tidak pernah mati. Keduanya seperti saudara kembar, Soekarno dalam konteks nasionalisme sebagai institusi, dan Pramoedya dalam konteks nasionalisme sebagai nilai. Keduanya menjalani perjuangan yang sama di negeri sendiri, dan keterpidanaan sama di negeri sendiri pula. Keduanya mengemban tanggungjawab penegakan nasionalisme dalam sisi yang saling melengkapi. Soekarno berani menggebrak kapitalisme Amerika, dan menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Dan sebelum tutup usia, dalam satu wawancara di harian Suara Merdeka, Pram seperti meninggalkan kalimat terakhir, “hasil kerja bangsa ini..korupsi!” Keduanya simbol nasionalisme yang dibunuh dua kali, oleh kolonialisme dan kapitalisme.



* Eko Tunas
Sastrawan, tinggal di Semarang.
Penasehat Pondokbanjar