google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Meneladani Kepemimpinan dan Sosok Visualisasi Ki Ageng Pandanaran Pendiri Kota Semarang

Meneladani Kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran

DINAS Kebudayaan dan Pariwisata menyelenggarakan Sarasehan Budaya dengan tema “Meneladani Kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran.” Acara berlangsung di Ruang Komisi A-B Gedung Mr. Moh. Ikhsan Lt. 8 Jl. Pemuda No. 148 Semarang dengan menghadirkan tiga narasumber yakni Prof. Dr. Dewi Yuliati, MA Pakar Sejarah dari Universitas Diponegoro, Budayawan Semarang Djawahir Muhammad, MA, Anasom, MA dari akademi UIN Walisongo Semarang, dan Anggota DPRD Kota Semarang Imam Marzuki. Acara sarasehan budaya dipandu oleh Masruhan Masrurie yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah dan dibuka dengan tarian Lengger Pesisiran, Senin (22/05/2017)


Tari Lengger Pesisiran
Masdiana Safitri Kepada Dinas Kebudayaan dan pariwisata mengatakan dalam samabutannya bahwa kota Semarang sudah menjadi scraper city yakni kota tidak hanya megahnya gedung-gedung tinggi, tapi tentang kualitas kota bawasanya kota Semarang semakin memberikan cahaya kepada negara-negara tetangga, semakin hari Semarang semakin hebat.

Imam Marzuki menjelaskan bahwa Kota Semarang kaya akan budaya dan pariwisata. Jika hal tersebut dikelola dengan baik, akan menjadi daya tarik bagi para pendatang dari luar kota Semarang. Maka tidak heran jika Kota Semarang disebut dengan little Netherland. Melaui rencana startegis DPRD Kota Semarang menjadikan budaya sebagai komoditi utama, maka kami turut mensuport dalam persoalan pengembangan pariwisata dan budaya di Kota Semarang.

Dewi Yuliati memaparkan makalah berjudul “Semarang Kota Maritim: Suatu Medium Keberagaman dalam Persatuan.”  Ia mengatakan bahwa Kota Semarang merupakan daerah pesisir maka akan menjadi garda terdepan penerima budaya asing. Sebab kawasan pesisir menjadi perlintasan arus dagang dari luar.

Akademisi UIN Walisongo Semarang Anasom memaparkan tentang Nilai-Nilai Religius Ki Ageng Pandanaran bawasanya tidak keseluruhan wilayah Semarang memiliki karakter pesisiran. Namun budaya pesisiran di Kota Semarang merupakan perpaduan kesantrian dan kejawaan. Jadi selain mendalami nilai-nilai kejawaan, masyarakat jawa cenderung memiliki karakter santri. Maka karakter orang semarang sangat egaliter, toleran, dan religius.

Budayawan Semarang dan juga Ketua Akademi Semarang Djawahir Muhammad menyampaikan materi tentang Ki Ageng Pandanaran: Mencarai Hakekat ke Gunung Jabalkat. Ia bercerita tentang Kisah Sunan Kalijaga yang juga Guru Ki Ageng Pandanaran menyamar menjadi penjual rumput. Setiap hari Sunan Kalijaga menyerahkan rumput, dan saat sudah merasa cukup banyak Sunan Kalijaga menagih uang pembayaran rumput tersebut. namun Ki Ageng Pandanaran selalu berkilah dan menunda-nundaga pembayaran tersebut setiap kali ditagih dan bakan sampai marah-marah. Maka terjadi dialog antara Sunan Kalijaga atau penjual rumput dan Ki Ageng Pandaran.
“Hamba memang tidak begitu memerlukan uang. Bagi saya uang itu mudah diperoleh,” kata penjual rumput
“Sombong benar kamu. Apa buktinya kamu gampang mencari uang,” kata Ki Ageng Pandanaran

Maka penjual rumput tersebut mencangkul tanah, dan tiba-tiba berubah menjadi emas. Melihat peristiwa itu Ki Ageng Pandanaran merasa takjub. Dan ia berfikir, tentu penjual rumput ini tidak sembarang orang dan hanya Sunan Kalijaga gurunya yang bisa melakukannya. Pada akhir cerita Ki Ageng Pandanaran bertaubat.

Kepimpinan Ki Ageng Pandanaran dan Sejarah Kota Semarang
Kota Semarang berasal dari sebuah desa diperbukitan bernama Pragota yang didirikan oleh Ki Ageng Pandanaran 1, yang selanjutnya kepemimpinan kota Semarang berlanjut kepada Ki Ageng Pandanaran 2 yang memiliki gelar Sunan Tembayat. Dibwah kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran 2 Kota Semarang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga membuat Pangeran Hadiwijaya kagum dan tertarik atas prestasi yang dicapai. Maka pada tanggal 2 Mei 1547 Pangeran Hadiwijaya memutuskan status Kota Semarang menjadi setingkat dengan kabupaten. Dimana tanggal tersebut merupakan hari senin pahing dan bertepatan dengan 12 Robiul Awal yang merupakan kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Lukni Maulana dari Pondokbanjar sangat menyayangkan acara dengan tema “Meneladani Kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran.” Bawasanya dari keempat pembicara tersebut tidak ada yang menyampaikan tentang keteladanan Ki Ageng Pandanaran. Yang disampaikan hanya seputar sejarah semarang, karakter orang semarang, cerita dibaliki kisah penjual rumput alias Sunan Kalijaga dengan Ki Ageng Pandanaran. Dan kesemuanya bermuara pada karakteristik dan watak masyarakat Semarang, belum masuk pada wilayah meneladani kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran.

Mengapa demikian? Karena selama ini masyarakat mengetahui Ki Ageng Pandanaran sebagai seorang yang memiliki sifat angkuh, sombong, congkak,penumpuk harta, dan tentunya sifat kikir telah menyelimuti Ki Ageng Pandanaran. Hal ini tidak terlepas kisah antara Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai tukang rumput dengan Ki Ageng Pandanaran. Padahal dalam kisah, cerita, ataupun babad bawasanya Ki Ageng Pandanaran menjalankan pemerintahan dengan baik, kemajuan dibidang perdagangan dan keagamaan. Sehingga masyarakat menjadi makmur dan sentosa.

Bukan lantaran Ki Ageng Pandanaran tidak meninggalkan jejak tertulis sebagaimana gurunya Sunan Kalijaga. Namun lebih dari itu, yakni mengapa Semarang diresmikan tanggal 2 Mei 1547 sebagai hari kelahiran Semarang. Bawasanya ada pesan yang hendak disampaikan yakni tanggal tersebut merupakan bulan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad dan Sunan Kalijaga merupakan guru dari Ki Ageng Pandanaran pencipta lagu lir-ilir yang memiliki relevansi kepemimpinan. Didalam kelahiran kota Semarang ada kandungan Kelahiran Nabi Muhammad dan Lir-Ilir yakni seorang pemimpin layaknya Nabi Muhammad sebagai cah angon atau pengembala, bawasanya seorang pemimpin adalah cah angon yakni menjadi pelayan bagi rakyat atau masyarakatnya. Namun yang terjadi setelah Ki Ageng Pandanaran menjadi pelayan rakyat, sebagai seorang manusia biasa Ki Ageng Pandanaran timbul nafsu keduniaanya.

Sosok Visual Ki Ageng Pandanaran
Menurut sumber informasi seorang yang tidak perlu disebutkan namanya acara tersebut diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tersebut menelan anggaran Rp. 50 Juta. Hal ini tidak terlepas mengemukanya polemik patung Warak Ngendok yang ada di taman Jl. Pandanaran, yang tidak mensimbolkan Warak Ngendok asli ikon kota Semarang. sebab di taman tersebut Warak Ngendok namun tidak ada Ndoknya atau telur, begitupun dengan wajah warak ngendok berwajah naga, yang mana seharusnya warak ngendok itu berwajah kambing.

Maka dimunculkan ide untuk mengganti patung warak ngendok dengan sosok pendiri kota Semarang yakni Ki Ageng Pandanaran. Namun sayangnya belum diketahui sosok Ki Ageng Pandanaran itu seperti apa, dan bagaimana bentuk visualisasi Ki Ageng Pandanaran sebab belum ada gambaran dokument wajah asli Ki Ageng Pandanaran, tidak seprti gurunya Sunan Kalijaga yang memiliki visualisasi.

Hal tersebut menjadi tanda tanya besar, bagaimana sesungguhnya sosok Ki Ageng Pandanaran dan visualisasinya? Mungkin salah satu alternatif untuk mekanisme akademik dan ilmiah yakni dengan menggelar Sarasehan Budaya: “Meneladani Kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran.” Tapi sayang sekali dengan dana yang sebesar itu, yang ada hanya keborosan dan kisah-kisah yang kurang memberikan aspek visualisasi Ki Ageng Pandanaran sendiri dan meneladani kepemimpinan Ki Ageng Pandanaran tidak mencul bagaimana ia memimpin kota semarang baik dibidang politik, ekonomi, budaya, agama, maupun pendidikan. (Pondokbanjar)