google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Puisi Kampungan: Sastra Ayam dan Telor

Puisi Kampungan: Sastra Ayam dan Telor

Penyair Semarang Lukni Maulana dan Bayu Aji Anwari sempat menelorkan Puisi Kampungan lengkap dengan konsep dan buku kumpulan puisi. Sampai hari ini Fan Page fb-nya masih punya pengikut, tapi Lukni santai-santai saja bahkan cenderung malu-malu ayam. Mungkin karena dia tidak mampu memberi honor kepada para penyair kampungannya, apalagi sampai jutaan rupiah per-telor..eh puisi.

Atau karena kritik dari para elite puisi atau tekhnokrat sastra sekampungnya, Lukni jadi patah hati. Satu pertanda bahwa dia bukan pejantan tangguh. Setidaknya kalau dibandingkan dengan Remy Silado yang pernah menelorkan Puisi Mbeling, Yudhistira Massardi Puisi Dangdut, atau Rendra Puisi Pamplet.

Ingat Remy sempat berpuisi yang lebih kampungan dari Puisi Kampungan:

Pesan Ibu Kepada anaknya
Jangan suka bilang kontol

Bisa dibayangkan bagaimana tangguhnya Remy dalam meredakturi ruang Puisi Mbeling di majalah terpopuler 1970-an Aktuil. Juga Yudhis saat puisi dangdutnya mendapat cercaan dari presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Lalu cemoohan para elite dan tekhnokrat terhadap puisi pamplet si burung merak Rendra.

Lebih jadul (maaf saya tidak pakai istilah jaman old) dan tinggi kali lebar perdebatan sastra (modern) dimulai dari Sastra Bertenden St Takdir Alisjahbana di jaman Pujangga Baru 1950-an. Satu teori yang mematrapkan bahwa karya sastra mestilah bertenden atau bermuatan secara intelektual-universal. Lawan Takdir saat itu Armyn Pane dkk, yang lebih bersikukuh pada estetika dalam sastra individual-eksistensial.

Melewati konsep Sastra Independen Emha Ainun Nadjib yang tidak terlalu memancing perdebatan, muncul kemudian Sastra Kontekstual Arief Budiman & Ariel Heryanto 1980 -- bukunya terbit dengan judul sama. Satu pemikiran berdasar idee Arief bahwa setiap karya sastra memiliki konteks sosial-historis, dalam eseinya Sastra Kiri yang Kere. Lawannya Umar Kayam dkk dengan pemikiran sastra universal yang cenderung berarti internasionalisasi atau mendunia.

Kita masih menunggu kiprah lanjut Puisi Patidusa Agung Wibowo (Semarang) dan Sastra Etnik Arieyoko, setelah berakhirnya Sastra Pedalaman Triyanto Triwikromo dkk

Jadi dari dulu hingga kini perdebatan sastra didasari oleh rekaan penyair atau sastrawan guna mengibarkan kelompok dan karyanya. Ideologi jadi semacam dalih, termasuk monopoli bahwa estetika adalah milik kelompoknya. Ibarat pertanyaan: lebih dulu mana antara ayam dan telor -- satu perdebatan yang sebenarnya tidak berguna. Hal yang sewajarnya ada atas rekayasa genetika-chips-teknologi atau kebudayaan.

Celakanya dasar kebudayaan sangat dipengaruhi politik, sekali pun ujung dari segala rekayasa itu adalah populariras. Kalau anda populer di tingkat internasional, bukankah anda sedang terjerat politik kapitalisme mendunia. Kalau anda terkenal secara nasional, bukankah masyarakat pembaca sastra kita masih sangat minoritas untuk tidak mengatakan tertinggal dan bodoh secara nilai dan institusi kebudayaan itu sendiri.

Tapi daripada nganggur tidak berkarya ada baiknya sekali waktu kita memperdebatkan sastra universal, sastra kontekstual, puisi mbeling, puisi dangdut, puisi esei...

Seperti yang pernah diramalkan Chairil Anwar dalam sajak Sabar:
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong,
anjing nggonggong

Semarang Januari 2018
(Eko Tunas, warga Puisi Kampungan)