ADA perdebatan diantara para ahli tentang apakah Islam itu memiliki sistem pemerintahan. Ada yang berkeyakinan bahwa Islam sebagai agama telah memberikan ajaran yang lengkap mengenai berbagai persoalan kehidupan dan dalam hal ini termasuk juga sistem pemerintahan. Namun demikian, ada yang berpendapat sebaliknya. Islam memang telah memberikan berbagai petunjuk untuk para pemeluknya tapi tidak semua diberikan secara rinci. Sistem pemerintahan termasuk hal yang tidak dijelaskan secara rinci.
Diskusi tentang ada dan tidaknya sistem pemerintahan dalam Islam bisa merupakan topik yang tidak ada selesainya. Mereka yang terlibat dalam diskusi bisa berargumen baik berdasarkan bukti sejarah atau berdasarkan teks agama. Hanya saja Islam sejak awal sejarahnya tumbuh dan berkembang dalam sistem kekukasaan. Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah bersinggungan dengan sistem pemerinatahan sejak awal kelahirannya.
Para ulama baik yang terlibat langsung dalam sistem pemerintahan atau yang berada di luar sistem juga telah banyak membahas tentang sistem pemerintahan. Abu Hasan al-Mawardi merupakan salah seorang tokoh pemikiran sistem pemerintahan dalam sejarah Islam. Al-Mawardi merupakan sarjana Muslim yang telah menulis tentang sistem pemerintahan dalam Islam dan karyanya itu sampai sekarang masih banyak dibicarakan orang dan menjadi rujukan. Makalah ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan pemikiran al-Mawardi utamanya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.
Sistem Pemerintahan
Sebagaimana telah disinggung, al-Mawardi menghadapi persoalan besar berkaitan dengan eksistensi kekhalifahan Abbasiyah yang semakin lemah, sementara itu institusi kekhalifahan tetap diharapkan sebagai alat untuk secara politis menyatukan masyarkat Islam. Mengingat situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, maka tidak mengherankan bila pemikiran al-Mawardi ini berkisar tentang upaya untuk meneguhkan kekuasaan Khalifah berhadapan dengan para pembantunya yang secara riil menjalankan pemerintahan. Untuk itu upaya yang dilakukan adalah bagaimana menjastifikasi sistem yang ada dengan mengkaji ulang ajaran Islam yang ada pada teks. Karena itulah al-Mawardi tidak mengajukan ide-ide pemerintahan yang ideal dan sulit dijalankan tapi cenderung bersifat mencari solusi atas persoalan yang sedang dihadapi. Al-Mawardi tidak berbicara mengapa pemerintahan itu ada tapi ia berusaha untuk menata hubungan yang proporsional antara khalifah dengan penguasa di bawahnya. Keberadaan pemerintahan dalam pandangan al-Mawardi merupakan keniscayaan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Oleh karena al-Mawardi menganggap bahwa keberadaan pemerintahan adalah sesuatu yang merupakan keharusan, ia tidak mendiskusikan apakah pemerintahan itu perlu ada atau tidak tapi ia langsusng mendiskripsikan fungsi pemerintahan. Ia mengatakan bahwa kekhalifahan itu dibentuk untuk meneruskan tugas kenabiyan untuk menjaga agama dan untuk menata urusan dunia. Ketentuan bahwa mendirikan pemerintahan itu adalah wajib itu bukan lagi menjadi persoalan, hanya saja ia menemukan para ahli yang berpendapat bahwa kewajiban tersebut berdasarkan akal ada juga yang mengatakan bahwa hal itu wajib atas dasar syariah. Al-Mawardi mendukung yang terakhir ini.
Setelah mengemukan bahwa menderikan pemerintahan itu wajib al-Mawardi melanjutkan uraiannya tentang siapa saja yang merupakan komponen dalam mengangkat pemimpin. Mereka itu ada dua kelompok yaitu orang-orang yang berhak dipilih sebagai Khalifah (ahl imamah) dan mereka yang memiliki wewenang untuk memilih Khalifah (ahl ikhtiyar). Orang yang berhak menjadi Khalifah adalah orang yang memiliki syarat-syarat tertentu.
Syarat itu adalah: 1. sikap adil dengan segala persyaratannya, 2. memiliki ilmu hingga ia mampu untuk melakukan ijtihad mengenai berbagai persoalan dan ketentuan hukum, 3. sehat indrawi baik pendengaran, penglihatan dan lisan hingga ia dapat bertindak dengan tepat menegnai persoalan yang keputusannya didasarkan lewat alat-alat indrawi tersebut, 4. sehat anggota badannya hingga ia mempu bergerak dan bertindak cepat, 5. wawasan yang luas hingga mampu memimpin rakyat dan mengusahakan kemaslahatan, 6. keberanian untuk menjaga rakyat dan mengenyahkan musuh, 7. keturunan Quraisy.
Mereka yang termasuk orang-orang yang memiliki wewenang untuk memilih Khalifah adalah orang yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. adil dengan segala persyaratannya, 2. memiliki ilmu hingga mereka dapat mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk dipilih sebagai imam; dan 3. memiliki wawasan dan kebijakan hingga dapat memilih orang yang paling tepat menduduki jabatan sebagai imam dan paling mampu untuk mengelola kepentingan rakyat diantara orang-orang yang memenuhi syarat untuk jabatan itu.
Syarat bagi yang dipilih dan yang memilih untuk jabatan khalifah ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan keberadaan kekhaifahan agar tidak ditumbangkan oleh penguasa lain. Meskipun institutisi kekhalifahan itu sudah sedemikian lemah secara politis tapi tetap diperlukan sebagai simbol kesatuan ummat Islam dan untuk itulah keberadaannya harus tetap dipertahnkan. Cara yang ditempuh oleh al-Mawardi adalah dengan mengajukan syarat-syarat baik bagi yang dipilih maupun yang memilih agar tidak sembarang orang mengkalim dirinya sebagai khalifah meskipun ia memiliki kekuatan untuk mendukung pengakuannya itu.
Tata cara pengangkatan seorang Khalifah dalam pandangan al-Mawardi ada dua cara. Pertama, melalui pemilihan oleh ahl hill wal-aqd (mereka yang memilki wewenang untuk mengikat dan mengurai). Kedua dengan cara pengakatan oleh penguasa sebelumnya. Tentang sistem pengangkatan Khalifah seperti itu dasarnya adalah tata cara pengangkatan Khalifah di masa para Khulafa al-Rasyidun. Abu Bakar diangkap menjadi Khalifah dengan cara pilihan langsung sementara itu Umar menjadi Khalifah atas penunjukan oleh Abu Bakar sebagai khalifah sebelumnya.
Selain mentukan syarat-syarat bagi yang berhak dipilih maupun yang memilih untuk jabatan khalifah, al-Mawardi juga menjelaskan tugas-tugas yang harus diemban oleh seorang Khalifah. Tugas-tugas itu adalah: 1. menjaga agama sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dan menurut kesepakatan para ulama pendahulu, 2. menegakkan hukum diantara mereka yang sedang bertikai dan menyelesaikan pertentangan, 3. menjaga keamanan wilayah pemerintahan Islam hingga rakyat dapat mengusahakan penghidupan dan dapat bergerak secara bebas dan mearasa aman baik harta maupun jiwa, 4. menerapkan hukum pidana hingga hukum-hukum Allah tidak dilampaui dan hak-hak rakyat dapat terhindar dari pelanggaran, 5. menjaga perbatasan hingga para musuh tidak dapat melintas batas dana melakukan kejahatan, 6. melakukan jihad melawan orang yang tidak mau memeluk Islam setelah diajak untuk memeluknya dan mengupayakan hal tersebut hingga mereka mau masuk Islam atau menjadi orang dhimmi hingga dengan demikian seorang Imam telah melakukan tugasnya untuk meweujudkan bahwa Islam itu merupakan agama yang unggul dibanding yang lain, 7. menghimpun harta rampasan dan sadaqah sesuai dengan aturan syari’ah dan membagikannya tanpa ada rasa takut dan kasihan, 8. membagikan gaji dan apa yang telah menjadi haknya dari bait al-Mal dan tidak melebihkan atau mengurangi dan tepat waktu tidak mendahulukan atau mengakhirkannya, 9. mencari orang yang terpercaya dan mengangkat para penasehat untuk pekerjaan yang diserahkan kepada mereka tentang keuangan dan, 10. melaksanakan sendiri penagwasan terhadap berbagai persoalaan dan tidak tergantung kepada wakil.
Selain membahas hal-hal yang bersifat fundamental tentang sistem peemrintahan, al-Mawardi menguraikan secara rinci berbagai persoalaan teknis pemerintahan. Hingga al-Ahkam al-sultaniyah dapat dijadikan pedoman tentang bagaimana menjalankan roda pemerintahan di masa itu.
Sumber Bacaan:
1. Abu Ya’la. Al-Ahkam al-Sultaniyah. Bairut: Dar al-Fikr, 1994.
2. Al-Maturidi. Kitab al-Tawhid. (Bayrut: Dar al-Mashriq, 1982
3. Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad. Al-Ahkam al-Sultaniya. (Bairut: Dar al-Fikr, 1960
4. Hodgson, Marsahal. The Venture of Islam. Vol. I-III, Chicago: The University of Chicago Press, 1975.
5. Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam. Oxford: Oxford University Press, 1991.
6. Rosenthal, Erwin J. Political Thought In Medieval Islam: An Introductory Outline. Cambridge: Cambridge University Press, 1962.
7. Siradj, Said Agiel. Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: LKPSM, 1998.
8. Smith, Donald Eugene. An Analytic Study of Religion and Political Development. Boston: Little Brown and Company, 1970.
9. Smith, Wilfred Canwell. Islam in Modern History. Princeton: Princeton University Press, 1977.
10. Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992
………… Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1995.
Diskusi tentang ada dan tidaknya sistem pemerintahan dalam Islam bisa merupakan topik yang tidak ada selesainya. Mereka yang terlibat dalam diskusi bisa berargumen baik berdasarkan bukti sejarah atau berdasarkan teks agama. Hanya saja Islam sejak awal sejarahnya tumbuh dan berkembang dalam sistem kekukasaan. Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah bersinggungan dengan sistem pemerinatahan sejak awal kelahirannya.
Para ulama baik yang terlibat langsung dalam sistem pemerintahan atau yang berada di luar sistem juga telah banyak membahas tentang sistem pemerintahan. Abu Hasan al-Mawardi merupakan salah seorang tokoh pemikiran sistem pemerintahan dalam sejarah Islam. Al-Mawardi merupakan sarjana Muslim yang telah menulis tentang sistem pemerintahan dalam Islam dan karyanya itu sampai sekarang masih banyak dibicarakan orang dan menjadi rujukan. Makalah ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan pemikiran al-Mawardi utamanya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.
Sistem Pemerintahan
Sebagaimana telah disinggung, al-Mawardi menghadapi persoalan besar berkaitan dengan eksistensi kekhalifahan Abbasiyah yang semakin lemah, sementara itu institusi kekhalifahan tetap diharapkan sebagai alat untuk secara politis menyatukan masyarkat Islam. Mengingat situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, maka tidak mengherankan bila pemikiran al-Mawardi ini berkisar tentang upaya untuk meneguhkan kekuasaan Khalifah berhadapan dengan para pembantunya yang secara riil menjalankan pemerintahan. Untuk itu upaya yang dilakukan adalah bagaimana menjastifikasi sistem yang ada dengan mengkaji ulang ajaran Islam yang ada pada teks. Karena itulah al-Mawardi tidak mengajukan ide-ide pemerintahan yang ideal dan sulit dijalankan tapi cenderung bersifat mencari solusi atas persoalan yang sedang dihadapi. Al-Mawardi tidak berbicara mengapa pemerintahan itu ada tapi ia berusaha untuk menata hubungan yang proporsional antara khalifah dengan penguasa di bawahnya. Keberadaan pemerintahan dalam pandangan al-Mawardi merupakan keniscayaan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Oleh karena al-Mawardi menganggap bahwa keberadaan pemerintahan adalah sesuatu yang merupakan keharusan, ia tidak mendiskusikan apakah pemerintahan itu perlu ada atau tidak tapi ia langsusng mendiskripsikan fungsi pemerintahan. Ia mengatakan bahwa kekhalifahan itu dibentuk untuk meneruskan tugas kenabiyan untuk menjaga agama dan untuk menata urusan dunia. Ketentuan bahwa mendirikan pemerintahan itu adalah wajib itu bukan lagi menjadi persoalan, hanya saja ia menemukan para ahli yang berpendapat bahwa kewajiban tersebut berdasarkan akal ada juga yang mengatakan bahwa hal itu wajib atas dasar syariah. Al-Mawardi mendukung yang terakhir ini.
Setelah mengemukan bahwa menderikan pemerintahan itu wajib al-Mawardi melanjutkan uraiannya tentang siapa saja yang merupakan komponen dalam mengangkat pemimpin. Mereka itu ada dua kelompok yaitu orang-orang yang berhak dipilih sebagai Khalifah (ahl imamah) dan mereka yang memiliki wewenang untuk memilih Khalifah (ahl ikhtiyar). Orang yang berhak menjadi Khalifah adalah orang yang memiliki syarat-syarat tertentu.
Syarat itu adalah: 1. sikap adil dengan segala persyaratannya, 2. memiliki ilmu hingga ia mampu untuk melakukan ijtihad mengenai berbagai persoalan dan ketentuan hukum, 3. sehat indrawi baik pendengaran, penglihatan dan lisan hingga ia dapat bertindak dengan tepat menegnai persoalan yang keputusannya didasarkan lewat alat-alat indrawi tersebut, 4. sehat anggota badannya hingga ia mempu bergerak dan bertindak cepat, 5. wawasan yang luas hingga mampu memimpin rakyat dan mengusahakan kemaslahatan, 6. keberanian untuk menjaga rakyat dan mengenyahkan musuh, 7. keturunan Quraisy.
Mereka yang termasuk orang-orang yang memiliki wewenang untuk memilih Khalifah adalah orang yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1. adil dengan segala persyaratannya, 2. memiliki ilmu hingga mereka dapat mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk dipilih sebagai imam; dan 3. memiliki wawasan dan kebijakan hingga dapat memilih orang yang paling tepat menduduki jabatan sebagai imam dan paling mampu untuk mengelola kepentingan rakyat diantara orang-orang yang memenuhi syarat untuk jabatan itu.
Syarat bagi yang dipilih dan yang memilih untuk jabatan khalifah ini berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan keberadaan kekhaifahan agar tidak ditumbangkan oleh penguasa lain. Meskipun institutisi kekhalifahan itu sudah sedemikian lemah secara politis tapi tetap diperlukan sebagai simbol kesatuan ummat Islam dan untuk itulah keberadaannya harus tetap dipertahnkan. Cara yang ditempuh oleh al-Mawardi adalah dengan mengajukan syarat-syarat baik bagi yang dipilih maupun yang memilih agar tidak sembarang orang mengkalim dirinya sebagai khalifah meskipun ia memiliki kekuatan untuk mendukung pengakuannya itu.
Tata cara pengangkatan seorang Khalifah dalam pandangan al-Mawardi ada dua cara. Pertama, melalui pemilihan oleh ahl hill wal-aqd (mereka yang memilki wewenang untuk mengikat dan mengurai). Kedua dengan cara pengakatan oleh penguasa sebelumnya. Tentang sistem pengangkatan Khalifah seperti itu dasarnya adalah tata cara pengangkatan Khalifah di masa para Khulafa al-Rasyidun. Abu Bakar diangkap menjadi Khalifah dengan cara pilihan langsung sementara itu Umar menjadi Khalifah atas penunjukan oleh Abu Bakar sebagai khalifah sebelumnya.
Selain mentukan syarat-syarat bagi yang berhak dipilih maupun yang memilih untuk jabatan khalifah, al-Mawardi juga menjelaskan tugas-tugas yang harus diemban oleh seorang Khalifah. Tugas-tugas itu adalah: 1. menjaga agama sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dan menurut kesepakatan para ulama pendahulu, 2. menegakkan hukum diantara mereka yang sedang bertikai dan menyelesaikan pertentangan, 3. menjaga keamanan wilayah pemerintahan Islam hingga rakyat dapat mengusahakan penghidupan dan dapat bergerak secara bebas dan mearasa aman baik harta maupun jiwa, 4. menerapkan hukum pidana hingga hukum-hukum Allah tidak dilampaui dan hak-hak rakyat dapat terhindar dari pelanggaran, 5. menjaga perbatasan hingga para musuh tidak dapat melintas batas dana melakukan kejahatan, 6. melakukan jihad melawan orang yang tidak mau memeluk Islam setelah diajak untuk memeluknya dan mengupayakan hal tersebut hingga mereka mau masuk Islam atau menjadi orang dhimmi hingga dengan demikian seorang Imam telah melakukan tugasnya untuk meweujudkan bahwa Islam itu merupakan agama yang unggul dibanding yang lain, 7. menghimpun harta rampasan dan sadaqah sesuai dengan aturan syari’ah dan membagikannya tanpa ada rasa takut dan kasihan, 8. membagikan gaji dan apa yang telah menjadi haknya dari bait al-Mal dan tidak melebihkan atau mengurangi dan tepat waktu tidak mendahulukan atau mengakhirkannya, 9. mencari orang yang terpercaya dan mengangkat para penasehat untuk pekerjaan yang diserahkan kepada mereka tentang keuangan dan, 10. melaksanakan sendiri penagwasan terhadap berbagai persoalaan dan tidak tergantung kepada wakil.
Selain membahas hal-hal yang bersifat fundamental tentang sistem peemrintahan, al-Mawardi menguraikan secara rinci berbagai persoalaan teknis pemerintahan. Hingga al-Ahkam al-sultaniyah dapat dijadikan pedoman tentang bagaimana menjalankan roda pemerintahan di masa itu.
Sumber Bacaan:
1. Abu Ya’la. Al-Ahkam al-Sultaniyah. Bairut: Dar al-Fikr, 1994.
2. Al-Maturidi. Kitab al-Tawhid. (Bayrut: Dar al-Mashriq, 1982
3. Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad. Al-Ahkam al-Sultaniya. (Bairut: Dar al-Fikr, 1960
4. Hodgson, Marsahal. The Venture of Islam. Vol. I-III, Chicago: The University of Chicago Press, 1975.
5. Lambton, Ann K.S. State and Government in Medieval Islam. Oxford: Oxford University Press, 1991.
6. Rosenthal, Erwin J. Political Thought In Medieval Islam: An Introductory Outline. Cambridge: Cambridge University Press, 1962.
7. Siradj, Said Agiel. Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: LKPSM, 1998.
8. Smith, Donald Eugene. An Analytic Study of Religion and Political Development. Boston: Little Brown and Company, 1970.
9. Smith, Wilfred Canwell. Islam in Modern History. Princeton: Princeton University Press, 1977.
10. Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1992
………… Islamic Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1995.