PADA dasarnya
epistemologi menyangkut tiga hal diantaranya menyangkut hakikat ilmu
(pengetahuan), sumber ilmu dan obyektivitas ilmu. Oleh karena itu pada bab ini
juga akan dikaji menyangkut tiga hal tersebut dalam pandangan ikhwan al shafa.
Hakikat
Ilmu Menurut Ikhwan Al-Shafa
Kata ilmu dan ma’rifah, keduanya
memiliki arti yang sama yaitu pengetahuan, keduanya dipakai oleh ikhwan (baca:
ikhwan al shafa) secara bergantian dalam arti keduanya tidak dibedakan akan
tetapi untuk menunjukkan hakikat sebuah ilmu yang sebenarnya keduanya memiliki perbedaan.
Ilmu diartikan oleh ikhwan sebagai pengetahuan
yang berarti sebagai sebuah gambaran obyek pengetahuan yang ada pada jiwa[1] seseorang.
Hal ini dapat dipahami dari salah satu risalahnya,
“Bahwasanya yang dimaksud dengan pengetahuan
adalah tidak lain dari pada keberadaan gambaran obyek pengetahuan dalam jiwa
seseorang (yang berilmu) dan sebaliknya kejahilan adalah
ketiadaan gambaran tersebut pada jiwa
seseorang”[2]
Dari pernyataan ikhwan ini nampak
bahwa apa yang disebut dengan ilmu (pengetahuan) adalah adanya sebuah gambaran
obyek pengetahuan pada jiwa seseorang sedangkan kejahilan (kebodohan) adalah ketiadaan
gambaran tersebut pada jiwa seseorang. Hakikat keberadaan ilmu dalam jiwa
seseorang digambarkan oleh ikhwan al Shafa, bagi seorang yang berilmu (ulama)
keberadaan ilmu pada jiwanya dititikberatkan pada sikap dan tindakannya
sedangkan bagi seorang
penuntut ilmu keberadaan ilmu pada
jiwanya dititik beratkan pada semangatnya. Dalam risalahnya dijelaskan sebagai
berikut :
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
jiwa-jiwa ulama’ dititik beratkan pada sikap (tindakan)nya, sedangkan jiwanya
orang yang belajar dititik beratkan pada kekuatan semangatnya Dari risalah
ikhwan diatas bahwa pada hakikatnya ilmu dalam pandangan ikhwan al Shafa
merupakan produk dari sebuah proses. Hal ini dapat diketahui dapat diketahui
dari pernyataanya yang menyebutkan
bahwa berpengetahuan adalah terbentuknya
gambaran obyek-obyek pengetahuan pada jiwa seseorang. Sedangkan kejahilan
adalah ketiadaan gambaran obyek pengetahuan pada jiwa.
Sehingga dapat diartikan bahwa orang
yang memiliki pengetahuan adalah orang yang dalam jiwanya memiliki gambaran
obyek pengetahuan dan mampu memberikan gambaran esensi pokok dari suatu wujud
baik internal maupun eksternal[3].
Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang komputer
misalnya berarti mampu menggambarkan
segala sesuatu yang terkait dengan komputer sebagaimana adanya setelah
menjalani proses abstraksi melalui prosedur tertentu. Apabila gambaran itu
sesuai dengan realita maka pengetahuan itu benar adanya. Hal ini nampak bahwa
pemikirannya tentang pengetahuan (ilmu) lebih dekat dengan John Lock yang
bersifat
Empirisme dibandingkan dengan Plato
maupun Aristoteles[4]
hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang mendasari pemikirannya.
Namun bukan berarti ikhwan sebagai pengikut tulen kaum empirisme sebab dalam
kesempatan yang sama ikhwan juga mengakui keberadaan pemikiran kaum
rasionalisme, letak pemikiran ikhwan yang lebih dekat dengan pemikiran John
Locke (kaum empirisme) adalah bahwa “manusia yang baru lahir tidak memiliki
pengetahuan karena jiwanya masih kosong seperti kertas putih”. Untuk mendukung pendapatnya
mereka mengutip, QS. An-Nahl: 78, yang berbunyi:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (QS.An-Nahl : 78)”
Berdasarkan ayat di atas, bahwa bagi
ikhwan manusia ketika dilahirkan tidak memiliki pengetahuan karena di dalam
jiwanya belum ada bentuk obyek pengetahuan. Keberadaan pengetahuan dalam jiwa
manusia terjadi setelah penggunaan panca indra dan akalnya dan hal ini terjadi ketika
manusia telah berinteraksi dengan alam nyata. Karena ketika lahir manusia tidak
memiliki pengetahuan, maka oleh ikhwan digambarkan sebagai proses perolehan
pengetahuan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh)
proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al nafs al kulliyat)
kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada
mulanya jiwa manusia kosong setelah indra berfungsi secara berproses manusia
mulai menerima rangsangan dari alam sekitar, semua rangsangan jiwa ini melimpah
kedalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya fikir (al quwwah al
mufakkirat) kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan didalam rekoleksi
atau daya simpan (al quwwah al hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada
daya penuturan (al quwwah al nahtiqat) untuk kemudian diproduksi,[5] hadirlah
yang disebut dengan pengetahuan.
Sedangkan mengenai keberadaan realita
diluar pikiran manusia, ikhwan mengatakan bahwa hal itu ada benar-benar ada.
Hal ini secara implisit dapat kita pahami bahwa proses mengetahui yang berarti melakukan
pemindahan abstraksi obyek pengetahuan sebagaimana yang didapat dari alam oleh
indra ke dalam jiwa, sehingga keberadaan jiwa itulah yang menjadikan seseorang
memiliki pengetahuan.
Sumber
Ilmu menurut Ikhwan Al-Shafa
Dalam pengembangan ilmu, Ikhwan
mengambil beberapa mazhab dan aliran dalam Islam disamping juga mereka
mengambil ilmu dari agama Nasrani dan Watsani antara filsafat Yunani, Persia,
dan agama lain, dalam hal bagaimana munculnya sebuah ilmu atau pengetahuan,
Ikhwan al shafa merupakan penganut teori pengetahuan Aristoteles murni, mereka sependapat
dengan Aristoteles bahwa indra merupakan dasar pengetahuan dan sesuatu yang
tidak dapat ditangkap oleh indra maka tidak dapat dikonsepsi oleh akal[6] ikhwan
berpandangan bahwa ilmu tidak hanya diperoleh dari indra semata akan tetapi
juga dari akal. Hal ini dapat dilihat risalahnya antara lain: Pertama, Ma’rifat
al-aql al-gharizy, pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang dimiliki
seseorang tanpa proses belajar, pengetahuan ini setiap orang memilikinya karena
pada dasarnya jenis ini bukanlah pengetahuan (ilmu), tetapi merupakan dasar
dari pengetahuan dan pangkal otak bagi pengetahuan. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan
bawaan. Kedua, Al ‘ilm al mustafad al muktasab, pengetahuan ini
merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar mengajar. Jenis
pengetahuan inilah yang disebut oleh ikhwan sebagai ilmu. ilmu yang kedua ini
dapat diperoleh melalui dua jalan diantaranya adalah melalui pemberitaan dan
akal pikiran. Al ‘ilm al mustafad al muktasab dapat diperoleh melalui
dua jalan yaitu, Ilmu yang diperoleh melalui pemberitaan disebut dengan istilah
Khabaryy, ilmu ini dapat diperoleh seseorang melalui perantara panca
indra baik itu
pemberitaan yang sifatnya tulisan
maupun sifatnya lisan. Sedangkan ilmu yang diperoleh melalui akal pikiran
diistilahkan ikhwan dengan Nazary, ilmu ini merupakan kelanjutan dari
ilmu yang diperoleh panca panca indra[7].
Dari penjelasan diatas secara
sederhana bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui dua cara yaitu melalui
indra pendengaran (sama’) dan akal pikiran (‘aql). Manusia pun
memiliki pengetahuan yang hanya diperoleh melalui panca indra semata yang dalam
istilah ikhwan disebut dengan thabi’i al-gharizy (instink). Pengetahuan ini
tak ubahnya pengetahuan yang dimiliki oleh binatang seperti halnya anjing
mengenal juragannya. Pengetahuan ini pada dasarnya bukanlah pengetahuan karena
bersifat alamiah dan instinctive, kelompok manusia yang memiliki pengetahuan
ini termasuk kelompok manusia awam.
Sedangkan pengetahuan yang sebenarnya
atau ilmu dalam pandangan ikhwan adalah al ‘ilm al mustafad al muktasab,
yaitu yang diperoleh dengan usaha (berfikir) dan belajar dalam risalahnya
mereka menjelaskan:
“Bahwa pengetahuan tentang sesuatu
adakalanya bersifat alamiah dan instinktif (thobi’i al gharizy), seperti
pengetahuan yang diperoleh panca indra dan akal sederhana (fi awail al uqul)
dan adakalanya merupakan hasil belajar dan usaha (ta’limi muktasab) seperti
al ‘ilm al riyadiyat wal adab dan ilmu agama dan sesuatu yang diberikan
malaikat Jibriel.[8]
Berdasarkan pernyataan risalah diatas
bahwa ikhwan menjelaskan bahwa sebagian manusia ada yang memperoleh pengetahuan
hanya berasal dari hasil panca indra semata, pengetahuan ini pada hakikatnya
bukanlah pengetahuan yang sebenarnya karena hanya melibatkan indra dan akal manusia
dan tidak memerlukan proses belajar mengajar, selain itu ada pula sebagian
orang yang memperoleh pengetahuan dari yang diusahakan melalui proses berfikir
dan belajar, pengetahuan ini ikhwan sebut dengan al ‘ilm al Mustafad al
Muktasab pengetahuan jenis inilah yang menurutnya pengetahuan yang
sebenarnya. Dalam risalah nya ikhwan mengatakan sebagai berikut:
“Akal bawaan adalah akal yang tidak
ada manusia yang tidak memilikinya,
setiap manusia memperolehnya secara alamiah dan tanpa perantaraan . . . maka
adapun diperoleh pertama dengan akal maka pengetahuan yang terdapat padanya
tidak memerlukan proses belajar mengajar, pada hakikatnya ia bukanlah ilmu
tetapi merupakan dasar ilmu dan landasan
pengajaran”
Menurut ulama’ masyhur ilmu al ilm
al mustafad al muktasab terdiri atas dua bagian yaitu Nadhari dan Ilmu
Khobari, Ilmu Nadhari dapat diperoleh seseorang dengan cara berfikir dan
berbuat serta
mengedepankan indra serta tidak
terlepas dengan adanya akal gharizy yang dapat mengeluarkan batas
kekuatan untuk bertindak terhadap sesuatu yang tersembunyi menjadi jelas dan
tampak yang tidak ada menjadi ada dengan gerakan jiwa-jiwa akal seperti ilmu
hisab dan perinsinyuran sedangkan Ilmu Khobari dapat diperoleh dengan
membaca kitab-kitab dan buku-buku, melihat informasi-informasi dan mengadopsi
ilmu dari orang lain. Ilmu Nadhari terdiri terbagi atas dua bagian,
pertama ilmu alfadz kedua Ilmu Ma’ani, Ilmu Alfadz mayoritas
para ulama’ klasik dari beberapa ahli hukum telah menjelaskan secara panjang
lebar dan menyampaikan beberapa makna sampai mendapatkan keterangan yang maksimal
dan mendalam sedangkan ilmu ma’ani merupakan garis besar perpolitikan ilmu kenabian,
dan penetapan syariat
Dalam keterangan yang lain ikhwan
menjelaskan bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan berapa cara
diantaranya: melalui pengalaman sebagian melalui pendengaran, periwayatan dan
pemberitaan dan sebagian melalui pemikiran, periwayatan, perenungan dan akal
gharizy, sebagian melalui wahyu dan ilham, selain itu juga dapat melalui qiyas
dan penalaran. Ikhwan menjelaskan dalam risalahnya sebagai berikut:
“ Sesungguhnya pengetahuan manusia diketahui
sebagai berikut: sebagian pengalaman sebagian dengan jalan pendengaran, periwayatan
dan pemberitaan dan sebagian dengan jalan pemikiran
dan periwayatan dan perenungan dan
akal gharizy, sebagian dengan jalan wahyu dan ilham . . . dan sebagian
dengan jalan qiyas dan penalaran.”
Dari keterangan di atas, secara
ringkas dapat dipahami bahwa manusia dalam memperoleh pengetahuan atau sumber
pengetahuan adalah selain indra, akal, sumber ilmu juga dari Tuhan yaitu wahyu,
ilham.
Indra dalam pandangan ikhwan terbagi
ke dalam dua jenis yaitu indra ekstern (khorijiyah) dan indra intern (bathinah)
Indra eksternal berupa indra peraba, mengecap, mencium, mendengar, melihat.
Sedangkan indra intern merupakan jiwa ruhaniyah seperti daya fantasi, daya
berfikir, daya menghafal, daya rasional, daya cipta
Dalam proses munculnya sebuah
pengetahuan, hasil obyek perolehan indra atau sketsa-sketsa kemudian dikirim
dan terekam oleh daya fantasi, dalam daya ini sketsa-sketsa indrawi disusun dan digabungkan sesuai kehendaknya kecuali
yang tidak diterima indra kemudian dikirim ke daya berfikir, dalam daya ini
hasil dari daya fantasi diolah dan direkam yang kemudian dikirim kepada daya
menghafal (al quwwah al hafidhah) menyimpan sketsa makna dan informasi
yang dikirim oleh daya berfikir hingga saat dibutuhkan dan diingat, jika suatu saat
orang lain bertanya tentang sesuatu maka daya berfikir meminta bantuan kepada
daya rasional, daya rasional memberikan jawaban lewat hasil kerja dari
kerongkongan ke lidah menyusun kata dengan intonasi yang beragam yang disebut
dengan bicara kemudian kata-kata tersebut mengandung makna yang terkonsepsi
oleh daya berfikir dalam waktu yang bersamaan dikirim ke daya ungkap sehingga
orang lain mendengarnya dari sisi yang lain hasil pemahaman dari daya rasional dengan
daya keahlian pada tangan dan jari-jari dengan berbagai makna simbol yang
tersimpan dalam daya menghafal kemudian disimpan pada buku agar abadi sepanjang
zaman.Sehingga muncullah apa yang disebut dengan pengetahuan.
Sedangkan mengenai akal bagi ikhwan
adalah salah satu daya diantara daya-daya lainnya yang fungsinya berfikir,
merenung, merasionalkan, membedakan dan melaksanakan semua pekerjaan keahlian dengan
kata lain fungsinya adalah berfikir, merenung, mengkonsepsi, mensintesis dan
menganalogi200 Lebih lanjut ikhwan menjelaskan akal manusia pada dasarnya
berasal dari jiwa rasional, jika ia mengkonseps simbol-simbol indrawi dalam
dirinya maka dengan pikirannya ia dapat memisahkan berbagai esensinya, ia akan
mengetahui substansi dan materinya mencoba hal-hal yang sifatnya duniawi dan dapat
mengambil pelajaran dari perubahan sejarah diantara pelakunya.
Akal merupakan suatu bentuk yang
bersatu dan memiliki dua makna salah satunya adalah falsafah yang menunjukkan
bahwa akal itu terdiri dari unsur-unsur yang baik yang bersifat ruhani yang meliputi
segala sesuatu sedangkan makna yang lain mayoritas manusia mengatakan bahwa
akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa manusia yang
diaplikasikan oleh adanya pemikiran, pendapat, ucapan, perbedaan dan
kreatifitas Kekuatan pikiran memiliki dua macam perbuatan pertama adanya
sesuatu yang dikhususkan dengan sendirinya dan kedua adanya perbuatan tersebut
merupakan gabungan atas kekuatan yang lain, adapun kekuatan pemikiran yang
dikhususkan pada perbuatan-perbuatan tidak terlepas dari pemikiran, pendapat,
gambaran, ungkapan, susunan, analisa, ungkapan, mengumpulkan, qiyas dan
kekuatan ini tidak terlepas dari firasat, ramalan, kebatinan, hati, ilham,
penerimaan wahyu dan hayalan-hayalan.
Kekuatan pemikiran (akal) memiliki
kekhususan yang tidak terhitung serta perbuatan yang menakjubkan yang
mengalahkan kekuatan.
Berfikir[9] adalah
mengeluarkan bermacam-macam ilmu, dengan berpendapat kita dapat mengatur segala
urusan dengan analogi kita mendapatkan hakikat sesuatu, mengambil i’tibar kita dapat
mengeluarkan segala urusan terdahulu dengan menyusun kita dapat mengeluarkan
kreatifitas
yang sistematis, dengan menganalisa
kita dapat mengetahui segala wujud benda yang baik dan
wujudnya, dengan mengumpulkan kita
dapat mengetahui segala macam dan jenis, dengan qiyas
kita dapat mengetahui masalah-masalah
yang tersimpan berdasarkan waktu dan tempat, dengan
berfirasat kita dapat mengetahui
karakter dan sifat-sifat yang tersimpan, dengan ilmu batin kita
dapat mengetahui kejadian-kejadian
sepanjang hari, dengan meramal kita dapat mengetahui
kemungkinan yang berhubungan dengan
wahyu, dengan bermimpi kita dapat mengetahui masalahmasalah yang menyenangkan
dan menyedihkan dengan menerima wahyu dan ilham dapat
mengetahui letak dan pembukuan serta
kitab-kitab Allah yang disertai dengan pentakwilan.
Hayalan dan perbuatan keseluruhan
panca indra yang terdeteksi meskipun akal memiliki kelebihan dalam masalah
ketuhanan akal tidak dapat menjelaskan hanya dalil-dalil yang benar (burhan)
yang dapat menjelaskannya.
Menurut Ikhwan, meskipun akal memiliki
banyak sisi positifnya akan tetapi ia juga memiliki berbagai kekurangan dan
bahaya, Ikhwan memberi contoh sebagai berikut; jika akal dikendalikan oleh hawa
nafsu dan ujub, sombong dengan pemikirannya sendiri serta kesombongan yang mencegahnya
dari menerima sebuah kebenaran, dengki terhadap yang lain dan sejenisnya betapa
beratnya bahaya akal ini menipu para ahli pikir yang menyesatkan mereka dari
jalan petunjuk yang mencegah mereka dari benar-benar memanfaatkan kemuliaan
akal dan manfaatnya.
Hal senada juga terjadi pada metode
qiyas, menurut ikhwan metode ini dipakai terhadap sesuatu yang belum diketahui
ketentuannya namun metode ini menurutnya adakalanya merupakan kebodohan, Menurutnya,
qiyas itu dapat saja di lakukan oleh semua orang baik anakanak,
orang awam orang bodoh dan sebagian
banyak pula orang pinter, inilah yang menjadikan penyebab adanya perbedaan
pemikiran dan mazhab, dan kebanyakan pengetahuan manusia diperoleh melalui
qiyasnya sendiri banyak ragamnya tergantung pada pokok pemikiran yang mendasarinya.
Sebagai contoh qiyas yang dilakukan oleh seorang dokter berbeda dengan qiyas
yang dilakukan oleh seorang dokter yang lain demikian juga qiyas yang dilakukan
oleh seorang ahli ilmu ketuhanan berbeda dengan qiyas yang dilakukan oleh
seorang ahli fisika. Demikian halnya pada metode periwayatan dan pemberitaan,
menurutnya pemberi berita kadangkala jujur terkadang juga kebohongan.
Sedangkan mengenai wahyu dan ilham,
menurut Ikhwan keduanya bukan merupakan dari upaya manusia melainkan pemberian
dari tuhan.
Pengetahuan yang diperoleh dari inilah
yang mengantarkan manusia memperoleh derajat tertinggi, dengan wahyu ini pula
manusia menjadi lebih luhur dibanding keturunan yang sejenisnya, dengan wahyu
ini pula ia mengalahkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikiran,
wahyu menurut mereka merupakan sebuah berita tentang hal ghaib dari panca indra
yang dimasukkan hingga membekas ke dalam jiwa manusia tanpa disengaja oleh
manusia dan tanpa pemaksaan, penerimaan jiwa atas wahyu menurutnya ada tiga
diantaranya yang diterima dalam
keadaan tidur, yang kedua yang
diterima dalam keadaan terjaga, yang kedua ini diperoleh adakalanya mendengar
suara tanpa isyarat dan adakalanya mendengar pembicaraan tanpa melihat siapa
yang berbicara, dalam hal ini mereka mengutip salah satu dari ayat al qur’an
yang berbunyi;
“Tidak mungkin bagi manusia Allah berbicara
kepadanya kecuali berupa wahyu atau dibalik tabir atau mengutus seorang utusan yang
diberi ijin atasnya”
Mimpi merupakan ilham dari Malaikat
manakala mimpi tersebut berupa nasehat dan petunjuk untuk bertaqwa untuk
mengerjakan amal yang baik atau zuhud terhadap dunia dan berharap kenikmatan
akhirat, berzikir tentang akhirat atau segala sesuatu yang sama dengan hal-hal sejenisnya
sedangkan mimpi berasal bisikan setan manakala mimpi tersebut berupa sesuatu
yang mendorongnya berharap terhadap keduniaan untuk mengikuti hawa nafsunya
bahkan mereka menambah cintanya terhadap dunia.
Meskipun, ikhwan lebih menekankan pada
kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu akan tetapi menurutnya indra memiliki
keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan.
Oleh karena itu diperlukan pendekatan
inisiasi, yaitu bimbingan otoritas agama[10], yang
terakhir ini pun tidak terlepas dari penggunaan Indra dan akal.
Obyektivitas
Ilmu Menurut Ikhwan Al-Shafa
Secara epistemologi, obyektivitas
pengetahuan dalam Islam berbeda dengan konsep epistemologi dalam pandangan
Barat. Sebagaimana dalam bab ke dua dijelaskan bahwa epistemologi Barat
berangkat dari epistemologi sekuler
yang bernilai praktis bagi manusia dan metode yang digunakan adalah metode
deduktif-induktif serta kajiannya terbatas pada realitas empiris indrawi dan
yang dipikirkan oleh manusia.
Empirisme yang dipelopori oleh John
Lock misalnya, kebenaran sebuah pengetahuan terletak pada sejauhmana ilmu
(pengetahuan) tersebut dapat di capai oleh indra dan metode dipakai adalah
metode deduktif, pengetahuan bernilai benar apabila pengetahuan tersebut sesuai
dengan
kenyataan dari apa yang ditangkap oleh
indra. Kebenaran ilmu yang dianut kaum empiris ini merupakan teori kebenaran
kesesuaian (koresprodensi), contoh, bumi itu bulat, pernyataan ini benar
karena dalam kenyataannya pernyataan ini sesuai dengan kenyataan, menurut teori
ini bahwa semua pernyataan, proposisi atau hipotesis, yang tidak didukung oleh
bukti empiris oleh kenyataan faktual apapun tidak akan dianggap benar namun dalam
persoalan metafisik, teori ini lemah sebagai contoh; Ada Tuhan Yang Maha Kuasa,
hal ini tidak akan dianggap sebagai suatu kebenaran
kalau tidak didukung dengan bukti
empiris tertentu dan hal ini hanya dianggap hanya sebatas keyakinan saja bukan
termasuk pengetahuan.
Berbeda dengan epistemologi Barat yang
lain rasionalisme misalnya, pengetahuan yang benar adalah bukan yang diperoleh
dari indra dan pengalaman namun yang terdapat pada dunia ide, metode yang
digunakan adalah metode induktif, pengetahuan bernilai benar apabila sesuai
dengan keterjangkauan kemampuan rasio manusia. Sebagai contoh; lilin akan mencair
jika di masukan ke dalam air yang mendidih, bagi kaum empiris untuk membuktikan
kebenaran ini cukup memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih. Namun
bagi kaum rasionalisme tidak demikian mereka cukup mengecek apakah pernyataan
tersebut sesuai dengan pernyataan yang lain, ternyata pernyataan tersebut benar
karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin akan mencair pada suhu 60 0C Sedangkan
air mendidih pada suhu 100 0C maka oleh karena itu teori ini lebih menekankan
pada kebenaran rasional logis, dan cara kerja deduktif dan a priory.
Oleh karena itu bagaimana dengan kebenarannya pernyataan yang lain tadi?
Jawabannya adalah pernyataan tersebut pernyataan yang
lain lagi, hal ini berlangsung secara
terus menerus sehingga akan terjadi apa yang disebut dengan infinit regress.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi Barat bercorak rasionalis-empiris
dan bernilai praktis.
Ikhwan al shafa di satu sisi mengakui
kebenaran indrawi sebagaimana pendapat John Lock, mereka berpendapat bahwa
sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca indra tidak dapat di konsepsi oleh
akal
sehingga perbedaan kemampuan dan daya
serap panca indra menyebabkan perbedaan kualitas dan derajat pengetahuan yang
dimiliki seseorang[11].
Lebih lanjut mereka jelaskan dalam
risalah yang artinya:
“Jika manusia tidak memiliki alat
indra maka ia tidak akan mampu mengetahui segala sesuatu, baik yang membutuhkan
al burhan, akal maupun alat indra.”
Berdasarkan risalah diatas bahwa,
menurut ikhwan al Shafa indra merupakan dasar pengetahuan dan sesuatu yang
tidak dapat ditangkap oleh indra maka tidak dapat dikonsepsi oleh akal. Hal ini
menandakan bahwa pemikiran ikhwan tentang ilmu bercorak empiris. Namun disisi
yang lain mereka juga mengakui kebenaran akal, akal memiliki peran yang sangat penting
dalam memperoleh ilmu, bahkan untuk mencapai derajat yang tinggi sebagai
malaikat yang dekat dengan Tuhan akal memiliki peran yang sangat besar, bagi
Ikhwan ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis diatas kertas dan diajarkan sebagai
syariat itu hanyalah baru berupa simbolsimbol yang perlu difikirkan
pengertiannya, justru itu gambaran tentang surga dan azab neraka yang
dibentangkan al Qur’an oleh indrawi perlu difikirkan lebih mendalam secara
rasional[12]
Menurut mereka ungkapan dalam al-Qur’an
yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkat nalar orang Arab
Baduwi yang berkebudayaan bersahaja. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang
lebih tinggi mereka diharuskan memakai ta'wil dan melepaskan diri dari
pengertian-pengertian indrawi.
Ini menandakan bahwa pemikirannya
selain bercorak empirisme juga bercorak rasionalisme. Namun tidak semua obyek
dapat dipahami dengan menggunakan indra dan akal meski mereka menempatkan akal
memiliki posisi yang tinggi akan tetapi akal dan indra memiliki keterbatasan
untuk memahami esensi tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu
bimbingan otoritas ajaran agama. Hal ini nampak bahwa epistemologi ikhwan
selain bercorak nasionalis-empiris juga bercorak wahyu.
Dokumen - Komunitas Cahaya
[1]
Jiwa adalah immateri ruh yang hidup dari zat, menjadi banyak tahu dengan upaya
dan bertindak dengan kebiasaan. Lihat Ikhwan al shafa, Rasa’il Ikhwan al Shafa
wa Kullan al Wafa, Jilid III., hlm. 457
[2]
Ikhwan al Shafa, Rasa’il Ikhwan al Shafa wa Kullan al Wafa, Juz I,
op., cit., hlm. 262. Sedangkan secara khusus ilmu diartikan dengan istilah al
‘ilm al mustafad al muktasab yang memiliki arti sebagai sebuah ilmu yang
diperoleh dengan usaha dan dipelajari melalui proses belajar mengajar.
[3]
Hakikat internal maksudnya adalah kedalam perwujudan itu sendiri memilah-milah bagiannya
dan menemukan eberadaan wujud tersebut dalam konstelasi keseluruhan
bagianbagian. Sedangkan hakikat eksternal meletakkan keberadaan suatu wujud
dalam jalinan wujudwujud lain. Lihat Jujun S. Sumantri “Kata Pengantar” dalam
CA Codir (penyunting), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, terj. Bosco
Carvalo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. vii
[4]
John Lock merupakan pelopor kaum empirisme yang menilai bahwa awal
pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata dan jika
seseorang belum berinteraksi dengan alam nyata maka ia tidak memiliki
pengetahuan apapun sedangkan baik Plato maupun Aristoteles berpandangan bahwa
sebelum jiwa itu berada dalam jasad ia telah memiliki ilmu tentang segala
sesuatu.
[5]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Teoritis, Praktis Dan Histories,
Jakarta: Ciputat Pers, 2004 hlm. 99
[6]
Muhammad Usmani Najati, Ad Dirasat An Nafsiyat ‘Inda Ulama’ Muslim, terj. Gazi
Saloom, Jiwa Dalam Pandangan Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. hlm.
130.
[7]
Arief Taamir, Rassael Ikhwanussasa V, Edition Oueidat, Beirut Paris hlm.
16
[8]
Dalam pandangan al-Syaibani disebut pengetahuan yang dipelajari sedangkan yang diperoleh
secara alamiah as-Syaibani sebut dengan istilah pengetahuan dasar (fithriyat)
Lihat. Muhammad Omar al-Toumy al Syaibani, Op. Cit., hlm. 269 Lihat
juga, Ikhwan al Shafa, Op. Cit.,Juz III, hlm.19.
[9]
Berfikir adalah mengeluarkan bermacam-macam ilmu, dengan berpendapat kita dapat
mengatur segala urusan dengan analogi kita mendapatkan hakikat sesuatu,
mengambil i’tibar kita dapat mengeluarkan segala urusan terdahulu dengan
menyusun kita dapat mengeluarkan kreatifitas yang sistematis, dengan
menganalisa kita dapat mengetahui segala wujud benda yang baik dan wujudnya,
dengan mengumpulkan kita dapat mengetahui segala macam dan jenis, dengan qiyas
kita dapat
mengetahui masalah-masalah yang tersimpan berdasarkan waktu dan tempat, dengan berfirasat
kita dapat mengetahui karakter dan sifat-sifat yang tersimpan, dengan ilmu
batin kita dapat mengetahui kejadian-kejadian sepanjang hari, dengan meramal
kita dapat mengetahui kemungkinan yang berhubungan dengan wahyu, dengan
bermimpi kita dapat mengetahui masalahmasalah yang menyenangkan dan menyedihkan
dengan menerima wahyu dan ilham dapat mengetahui letak dan pembukuan serta
kitab-kitab Allah yang disertai dengan pentakwilan. Lihat Ikhwan al shafa, Op.
Cit., Juz III, hlm. 245-246
[10]
C.A. Cadir, Ilmu Pengetahuan Dan Metodenya, terj. Hasan Basari, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia 1989), hlm. 59
[11]
Ikhwan al Shafa Op. Cit., Juz III, hlm.407. Dalam hal ini ikhwan
berpendapat bahwa pengetahuan yang non empirikpun melibatkan panca indra di
samping daya akalnya, oleh karena itu C.A. Codir mengatakan bahwa sumber
pengetahuan menurut ikhwan adalah indra akal dan inisiasi ( bimbingan) dari
orang yang memiliki otoritas, yang terakhir inipun tidak terlepas dari penggunaan
panca indra dan akal. Lihat CA Codir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan,
Terj. Hasan Basari,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 60
[12]
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, (Jakarta: Bumi Aksara,1991),
hlm. 22