Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan
adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis
dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan
asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori.
Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap
lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui
kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman,
pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia
akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan
pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya. [1]
Tokoh-Tokoh Progresivisme
a. William James (11 Januari 1842 – 26
Agustus 1910)
William James, seorang psychologist dan seorang
filosuf Amerika yang sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya
sangat berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia
sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian,
dosen serta penceramah di bidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri
Pragmatisme.
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti
juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai
kelanjutan hidup. Dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari
sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James
menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan
menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.[2]
b. John Dewey (1859 - 1952)
John Dewey adalah seorang profesor di universitas
Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism”
yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya
sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child
Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa
depan yang belum jelas, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan
persiapan masa yang akan datang.
c. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Menurutnya, tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi
berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi
kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan
semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah
dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali
kekeliruan yang berguna saja.
d. Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini.
Tapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat
banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang dialaminya.
Pandangan Progesivisme dan
Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan
yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas
para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi
pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis
anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai
hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak
beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha
manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan
kebudayaan itu.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan
merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif
yang pada akhirnya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran)
yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah
manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan
kreatif sanggup menjawab tantangan zamannya.
Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat
pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat
pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah
akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan “Belajar
Sambil Berbuat” (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem
solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, mengajukan hipotesa.
Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat
jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang
memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan
menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah
filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan
seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal
abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi
penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistic”,
hasil belajar “dunia nyata” dan juga pengalaman teman sebaya.
Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran
IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa
membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu
merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep
IPA dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan
tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.
Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang
dan mempersiapkan suatu pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan
suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing
dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran
berdasarkan inkuari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan
pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi,
mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada
tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat
menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal
pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak
dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan
dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya.
Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat
bekerja sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama,
saling menghargai pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang
disepakati bersama.
1. Asas Belajar
Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme
mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi
yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain.
Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif
dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan
problema-problemanya.
Seiring dengan pandangan di atas, bahwa filsafat
progresivisme mengakui anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan untuk
berkembang dan megakui individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang
aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya.
Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam
melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat
anak didik sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah
bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan
stimuli-stimuli sehingga akal dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan
berkembang dengan baik.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses
dan sosialisasi. Artinya disini sebagai proses pertumbuhan dan proses di mana
anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan
sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Jadi sekolah
yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan
sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah harus
dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah
sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha
ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan
kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan
bentuk belajar "sekolah sambil berbuat" atau learning by doing.
Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus
dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi
sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan) akan tetapi sekolah juga
berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nila nilai, sehingga anak
menjadi trampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk
itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
John Locke (1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk
kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan
dengan kepentingan anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau
(1712-1778), menyataka anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan
dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi
anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam
orang dewasa.
Beranjak dari ketiga pendapat di atas, berarti sekolah
sebagai wiyata mandala (lingkungan pendidikan) sebagai wadah pembinaan dalam
pendidikan anak-anak didik dalam rangka menumbuh kembangkan segenap
potensi-potensi baik itu bakat, minat dan kemampuan-kemampuan lain agar
berkembang secara maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas
pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus
diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.
Hal yang harus diperhatikan gura adalah "anak
didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana
layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak
didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui
kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan
dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan
perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan
dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya
masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk
itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di
mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.
Wasty Soemanto dalam Psikologi Pendidikan: Landasan
Pemimpin Pendidikan, mengutip pendapat John Dewey sebagai berikut: John Dewey
ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:
a. Memberi kesempatan murid untuk
belajar perorangan.
b. Memberi kesempatan murid untuk
belajar melalui pengalaman.
c. Memberi motivasi, dan bukan
perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah
kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik,
d. Mengikut sertakan murid di dalam
setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak.
e. Menyadarkan murid bahwa hidup itu
dinamis. Oleh karena itu murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu
berubah dengan 'kemerdekaan beraktivitas, dengan orientasi kehidupan masa kini.
Hal ini menunjukkan bahwa John Dewey ingin mengubah
bentuk pengajaran tradisional. di mana ditandai dengan sifat verbalisme di mana
terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat
reseptif dan pasif saja. Hanya menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari
guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru
mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sarna sekali
untuk bersikap dan berbuat. Dalam abad ke-20 ini terjadi perubahan besar
mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran.
Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam cara
mengajar belajar di sekolah. di mana kini berangsur-angsur beralih menuju kearah
penyelenggaraan sekolah progressive, sekolah kerja, sekolah pembangunan dan
CBSA.
Progresivisme menghendaki pendidikan yang progresif.
Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak
didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berpikir secara
ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan agar orang dapat maju atau
mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan inteligen
sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.
Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam
belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi
manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik
berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif
dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
Pandangan Kurikulum Progressivisme
Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan
pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu
filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum
yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik
di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan
sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
Sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya
selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya
untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para
siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan
tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat
fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan
untuk diperiksa setiap saat.
Sikap progressvisme, memandang segala sesuatu
berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis, tercermin
dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif,
bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Pendidikan
dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat
untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang
cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak
pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya.
Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan
sebagai obyek pendidikan.
Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat
progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya.
Sekolah didirikan karena tidak mempunyai orang tua atau masyarakat untuk
mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang
tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat
memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi
dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core
Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum
eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi
didalam lingkungan yang komplek. Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya. Hidupnya bukan hanya
untuk kelestarian pertumbuhan saja, akan tetapi juga untuk perkembangan
pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat
dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah akan mendapatkan
pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan mendapatkan
pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat diterapkan sesuai dengan
kebutuhan umum (masyarakat sekitar).
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran
yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan
demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode
yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam
unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat
menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan
sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di
kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka
terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin
membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang
memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat
luas.
Metode problem solving dan metode proyek telah
dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John
Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving kedalam proses
pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran
tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut
untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi
pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar
mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan
hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya terletak kepada kemampuan
intelektualnya.
Pengajaran dengan program unit, akan meniadakan batas-batas
antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk
semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang
dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
a. Meningkatkan kualitas hidup anak
didik pada tiap jenjang.
b. Menjadikan kehidupan aktual anak ke
arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
c. Pengembangkan aspek kreatif
kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik
dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal
baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat
serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melalui pertimbangan
yang matang.
Dari penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick
tersebut ada beberapa hal yang perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus
dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan,
(2) kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi anak didik, (3)
kurikulum yang sanggup mengubah prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan
kemandirian dan (4) kurikulum bersifat fleksibel atau luwes berisi tentang
berbagai macam bidang studio.
Melalui proses pendidikan dengan menggunaka kurikulum
yang bersifat intergrated kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun
terintegrasi) dengan metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by
doing) dan metode problem solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi
maju (progress) mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial
sehari-hari dengan baik.
Konsep Pendidikan Progresivisme dalam Pandangan Filsafat Pendidikan
Islam
1. Pandangan secara Ontologi
Asal Hereby atau asal keduniawian, adanya kehidupan
realita yang amat luas tidak terbatas, sebab kenyataan alam semesta adalah
kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia
atas segala sesuatu, pengalaman manusia tentang penderitaan, kesedihan,
kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah realita manusia hidup sampai mati,
Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang berarti perkembangan, maju setapak
demi setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos kepada yang sulit-sulit
(proses perkembangan yang lama).
Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah
tindakan dan perubahan-perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia
mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak.
2. Pandangan secara Epistemologi
Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip,
proses, kekuasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses
interaksi pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik seeara langsung
melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkun hidupnya,
ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan (buku-buku,
kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita
menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktek,
maka makin besar persiapan menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus
disesuaikan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran dan
kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah (sekuen dan pada
sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna.
3. Pandangan secara Aksiologi
Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan
demikian adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai.
Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan,
kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk
dapat dikatakan adalah menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang
dialami manusia dalam pergaulan manusia.
4. Pandangan dari Sudut Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai
bentuk dan manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang
tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Filsafat progresivisme
menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina manusia untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman,
sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman tradisional untuk
memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu
berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan
dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus
maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di
pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang
mengendalikan manusia. Dengan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa
keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya
telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna. Alamlah yang
dikendalikan oleh manusia. Hidup manusia tidak lagi di pohon-pohon atau
gua-gua, akan tetapi dengan potensi akalnya manusia telah membangun
gedung-gedung yang menjulang tinggi, rumah-rumah mewah.
Filsafat progresivisme yang memiliki konsep manusia
memiliki kemampuan-kemampuan sesuai dengan fitrah kejadiannya, yang dapat
memecahkan problematika hidupnya, telah mempengaruhi pendidikan, di mana dengan
pembaharuan-pembaharuan pendidikan telah dapat mempengaruhi manusia untuk maju
(progress). Sehingga semakin tinggi tingkat berpikirnya manusia maka semakin
tinggi pula tingkat budaya dan peradaban manusia. Hasilnya, anak-anak tumbuh
menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan terbelakang menjadi masyarakat
yang komplek dan maju.
Sumber Bacaan:
Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem & Metode, Penerbit Andi,
Yogyakarta, Cet. IX, 1997.
Jalaluddin
dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
Jakarta: Arruz Media, Cet. III, 2010.
[1] Jalaluddin
dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
Jakarta: Arruz Media, 2010, Cet. III, hlm. 84.