ISLAM datang di Nusantara kira-kira pada abad ke-13 dan sangat berkembang pesat pada abad 16-17, menurut cerita rakyat dan pandangan umum berlaku dalam sastra Jawa, islam datang dan menyebar di Jawa adalah berkat jasa para wali, yang tergabung dalam sutu dewan yang disebut “walisongo.” Pada perkembangannya para wali sangat berpengaruh dalam keberlangsungan kerajaan islam pertama di Jawa yaitu Demak.
H. J. De Graaf menyatakan bahwa keruntuhan dan kehancuran Demak adalah keikut campurannya orang-orang keramat (wali) khusunya Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, yang telah terjadi persaingan yang sangat sengit, kedua orang ini dianggap sebagai guru yang sangat mashur memiliki muridmurid terhormat dikalangan kerajaan, yang selanjutnya berebut kursi kekuasaan Demak.
Ada yang berpendapat bahwa wali terpecah menjadi dua golongan, terutama penyikapan dalam berdakwah kepada masyarakat. Pertama: yang disebut dengan islam putihan yakni menampilkan ajaran islam secara ortodoks dan kaku, cenderung formal yang di motori oleh Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Maulana Malik Ibrahim. Kedua: islam abangan yakni menampilkan ajaran islam yang santun, toleran, lentur, serta tidak kaku terhadap masyarakat Jawa yang masih awam diantaranya di lakukan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Bonong. 166 Keadaan seperti itu yang sebetulnya sangat mempengaruhi keadaan pada waktu itu sehingga dakwah dalam bidang agama juga terserat dalam wilayah politik.
Para wali Selain memegang peranan penting sebagai penyebar agama, mempunyai kedudukan penting dalam bidang politik, pendidikan dan kebudayaan. Intrik Politik yang terjadi di Demak juga melibatkan para wali, sehingga kehancuran Demak juga tidak dapat di lepaskan dari campur tangan wali pada masa itu.
Di antara para wali yang tergabung dalam walisongo telah terjadi persaingan yang sangat tajam antara guru yang mengajar agama islam dan guru yang mengajar ilmu kesaktian. Di antara wali Sunan Giri yang berpegang teguh pada syariat islam, sedangkan Sunan kudus paling banyak muridnya dan terdiri atas golongan bangsawan yang memegang kunci pemerintahan. Di antara murid Sunan Kudus adalah Pangeran Aryo Penangsang, Sunan Prawata dan Hadiwijoyo (Jaka Tingkir), sementara itu Sunan Kalijaga memiliki murid yang tidak begitu tinggi satatus sosialnya. Mereka berasal dari selo yang terdiri dari Ki Pemanahan, Ki Jurumertani dan Ki Penjawi.
Bergabungnya Sunan Prawata bersama Hadiwijoyo kepada kelomok murid Sunan Kalijaga dari selo sebagai sahabat, menurut penilaian Sunan Kudus karena kehendak Sunan Kalijaga. Penggabungan ini dianggap mengurangi kewibawaan dan melecehan Sunan Kudus. Arya Penangsang adalah murid terkasih yang tetap setia kepada gurunya, Sunan Kudus. Ia telah di dukung untuk bertindak balas dendam dan menuntut hak tahta atas Demak oleh Sunan Kudus. Pada saatnya Arya Penangsang menghadapi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tahta Demak, khususnya dalam menghadapi lawan politiknya ia selalu meminta nasehat dan bantuan dari gurunya. Hubungan antara guru dengan murid tidak hanya terjalin melalui segi sepiritual saja, karena masalah agama dapat juga dipakai sebagai konsentrasi alat politik. Guru-guru yang berwibawa itu tidak hanya membatasi pada ajaran sepiritual, melainkan bertindak sebagai ahli poliitik dan ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan.
Dalam masalah perebutan tahta ini terdapat pertentangan pendapat diantara para wali. Sunan Giri sebagai ketua para wali tidak setuju apabila pangeran Sekar diangkat sebagai raja, sedangkan Sunan Kudus justru mendukungn pangeran Sekar di nobatkan sebagai Raja Demak. Menurut Sunan Kudus Pangeran Sekar adalah purtra laki-laki tertua. Namun menurut Sunan Giri, bobot keagamaan Pangeran Sekar jauh dibawah Pangeran Trenggono, sehingga Pangeran Trenggono diharapkan bisa mengganti Pati Unus. Akhirnya Pengeran Trenggono lah yang dinobatkan menjadi raja oleh para wali.
Persoalan ini terus berlanjut hingga akhir pemerintahan Trenggono. Ketika Sultan Trenggono wafat, ada konsep politik para wali yang saling bertentangan. Suna Giri yang memegang teguh syariat mencalonkan pangeran Prawoto menduduki tahta Demak, meskipun ia telah tercemar pernah membunuh Pangeran Sekar. Sementara itu Sunan Kudus mencalonkan Arya Penangsang, Adi Pati Jipang putra Pangeran Sekar. Alasanya karena Aryo Penangsang adalah pewaris langsung kesultanan Demak dari garis laki-laki tertua. Adapun Sunan Kalijaga mendukung Hadiwijaya dan menghendaki kerajaan dipindahkan ke daerah pedalaman, berbeda dengan Sunan Kudus yang berorientasi pada kerajaan pesisiran.
Hal tersebut menyebabakan kekacauan di Demak yang mengakibatkan kondisi sosial pada waktu itu tidak tentram lagi, hingga banyak sekali terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh oposisi, Arya Penangsang. Arya Penangsang dituduh banyak melakukan kejahatan dan pembunuahan.
Setelah mendapat restu dari Sunan Kudus Arya Penangsang menyuruh abdinya yang bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawata, Rangkut seketika sudah sampai kerumah Sunan Prawata, ketika itu Sunan Prawata sedang sakit keras yang baru bersandar di dada istrinya, melihat kedatangan tamu tak di undang Sunan Perawata bertanya, “siapa kamu?”
Rangkut menjawab, “hamba utusan Adipati Arya Penangsang, disuruh membunuh paduka.” Sunan Prawata berkata,” iya sekehendakmu. Akan tetapi aku saja yang kamu bunuh, jangan kau ikutkan orang lain.” Rangkut lalu menusuk Sunan Prawata dengan sekuat tenaga sampai tembus punggung dan mengenai di dada sang istri. Sunan Prawata melihat istrinya terluka, segera menarik kerisnya, bernama Kiyai Betok, dan dilemparkan kearah Rangkut, Rangkut terkena dan seketika tewas, Sunan Prawata dan istrinya juga tewas pada tahun 1549.
Ratu Kalinyamat adalah saudara kandung Sunan Prawata, mendengar kabar itu hati Ratu Kalinyamat seperti ditusuk sembilu, setelah menghadiri pemakaman kakaknya, sang ratu di temani suaminya Pangeran Hadirin pergi menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan, sesampai di kediaman Sunan Kudus mengutarakan semua permasalahan yang telah menimpa kakaknya Sunan Prawata yang tewas bersama istrinya dibunuh oleh suruhan murid tercintanya: Arya Penangsang, menanggapi pengaduan itu Sunan Kudus berkata, “kakangmu Prawata itu telah berhutang pati terhadap Arya Penangsang, maka kematiannya adalah tebusannya,” Ratu Kalinyamat mendengar Jawaban dari Sunan Kudus demikian sangat sedih hatinya. Ia lalu kembali pulang. Di jalan ia dirampok oleh utusan Arya Penangsang, suami
Ratu Kalinyamat di bunuh. Ratu Kalinyamat sangat menderita sebab barubaru saja kematian saudaranya, kini malah suaminya menyusul jadi sangat prihatin.
Entah apa yang dirasakan Ratu Kalinyamat melihat kenyataan bahwa satu persatu orang yang sangat di cintainya dibunuh oleh Arya Penangsang yang masih saudaranya. Apalagi ketika ia tahu bahwa dibalik peristiwa ini terdapat campur tangan wali, Kanjeng Sunan Kudus yang cukup terkenal ortodoksinya, bingung, geram, haru, duka camur aduk menjadi satu, “ini
kesewenang-wenangan, ini tidak adil” rintih sang ratu. Penderitaan yang sangat dalam menyelimuti hidup sang ratu. Arya Penangsang mempunyai kedikdayaan tanpa tanding tidak ada orang yang berani dan bisa mengalahkan pada waktu itu, apa lagi di belakangnya ada Sunan Kudus yang selalu membantunya, keadan sudah tidak bisa terkontrol lagi, tokoh agama sebaga penyebar agama islam sebagai dalang dibalik semua kejadian.
Maka timbullah tekad Ratu Kalinyamat untuk memohon pertolongan kepada Tuhan dengan cara menyepi, menyendiri, bertapa, di tempat yang jauh dari keramaian dunia, demikian lah pada suatu hari yang telah ditentukan dengan membawa bekal secukupnya, berangkatlah Ratu Kalinyamat dengan pengiring beberapa dayang-dayang kinasih dan beberapa orang lagi yang di pimpin oleh Ki Suta Mangunjaya, mencari tempat utuk bertapa.
Ratu Kalinyamat bertapa tidak jauh dari pesanggrahannya. Hanya beberapa meter kearah timur. Di situ ada tempat yang luas, dengan pohon besar yang rimbun. Apalagi letaknya ada di pinggir sungai. Maka tempat itu betul-betul cocok untuk bertirakat. Tempat itu kemudian hingga sekarang disebut dengan nama “gilang”. Berasal dari kata gilang-gilang atau luas.
Bahkan masih ditemukan di situ batu bekas alas sembahyang sang Ratu dan pancuran tempat berwudlu. Kabar pertapaan Ratu Kalinyamat sampai ke Pajang terdengar oleh Hadiwijaya, setelah mendapatkan pengarahan dari Ki Panjawi, Hadiwijaya memutuskan untuk pergi menjenguk kakaknya kesana, ia membujuk kakak iparnya itu berkenan meninggalkan pertapaan dan kembali kekeraton. Tetapi sang ratu telah bertekat bulat. Bahkan akhirnya Ratu Kalinyamat memindah tempat pertapaannya ke Gunung Donoroso yang sekarang berada di Desa Pengkol (Loji Gunung), karena di sini juga dikira sudah tidak memungkinkan lagi untuk menenangkan pikiran, maka Ratu Kalinyamat pindah lagi untuk mencari tempat yang tepat. Maka sang ratu memutuskan untuk mencari tempat itu bersama beberapa dayangnya.
Selama dalam perjalanan setelah beberapa hari melakukan perjalanan., rombongan Ratu Kalinyamat bertemu dengan seorang yang bernama Ki Pejing, Ki Pejing menunjukkan tempat yang sangat bagus untuk bertapa, yaitu tempat di tepi sungai kecil yang airnya jernih dan selalu mengalir sepanjang tahun, di samping itu tanah yang ditunjukan tersebut berbau harum, karena baunya yang harum maka tempat yang akan dijadikan pertapaan Ratu Kalinyamat disebut sebagai sitiwangi (siti = tanah wangi = harum jadi tanah yang berbau harum), setelah segalanya dipersiapkan Ratu Kalinyamat sebelum mulai bertapa terlebih dahulu mandi dan bersuci (wudlu) di sungai kecil yang berada disamping pertapaan tersebut.
Ratu Kalinyamat bertapa di atas batu yang sangat lebar, batu itu dijadikan alas untuk menjalankan shalat dan sambil bermunajat kepada Allah, berdzikir dan bertafakur. Namun Hadiwijaya tidak putus asa ia tetap memutuskan utuk pergi menyusul kakaknya kesana, Sultan lalu pergi ke Lereng Gunung Donorojo pada malam hari bersama Ki Pemanahan, Ki Panjawi, dan Ketiga Raden Ngabehi Loring Pasar (Danang Sutawijaya), setelah sampai di tempat pertapaan Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas Prabu, apa maksud kedatanganmu kemari?”
Sultan Pajang menjawab, “Mbakyu, saya kesini karena mendengar berita, kalau Mbakyu meninggalkan negeri, bertapa di Gunung Donorojo serta tidak berkain, apakah yang menjadi kesusahan hati Mbakyu: Sultan Pajang berusaha menghibur, adapun kematian kakang Kalinyamat sudah takdir Allah,” Ratu Kalinyamat berkata, “aku sangat bahagi dengan kedatanganmu kemari akan tetapi saya sudah bertekat bahwa sebelum mendapatkan kedilan dari Gusti Allah, saya tidak akan memakai kain sebelum Arya Penangsang yang menimbulkan keonaran, dan pembunuhan dapat dihukum sesuai dengan angkara yang di perbuat,”
Ratu Kalinyamat meneruskan perkataannya, “dan barang siapa yang mampu mengembalikan keadaan dengan meringkus orang-orang yang telah berbuwatdzolim maka kekayaan dan kerjaan yang saya miliki akan saya berikan kepada orang tersebut,” Sultan Pajang tertegun mendengar perkataan sang ratu, Sultan Pajang sebetulnya bermaksud menolong Ratu Kalinyamat untuk meringkus Arya Penangsang, akan tetapi tidak berani karena Arya Penangsang adalah jagoan pilih tanding pada waktu itu, atas dorongan dari Ki Panjawi Sultan Pajang berani memutuskan untuk meringkus Arya Penangsang, setelah terjadi musyawarah panjang antara Ki Panjawi, Ki Pemanahan, Ki Mentahun akhirnya Arya Penangsang (Adati Jipang) bisa diringkus di tangan Raden Ngabehi Loring Pasar, maka setelah itu berakhirlah kerajaan Demak dan dipindah ke Pajang.
Cerita pertapan Ratu Kalinyamat yang menjalakan tirakat “Topo wudo” atau telanjang ini di dasarkan pada naskah Babad Tanah Jawi edisi meinsma- olthof, sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Dalam naskah Babad Tanah Jawi sering di tuturkan dalam rakitan tembang pungkur yang sangat memikat:
Nimas Ratu Kalinyamat
Tilar pura mertapa aneng wukir
Tapa wuda singjang Rambut
Aneng wukir Donorojo
Aprasapa nora tapih-tapihan ingsun
Yen tan antuk adiling Hyang
Patine sedulur mami
Artinya:
“Nimas Ratu Kalinyamat Meninggalkan istana bertapa di gunung Bertapa telanjang berkain rambut Di gunung Donorojo Bersumpah tidak (akan) sekali-kali memakai pakaian Jika tidak memeroh keadilan Tuhan (atas) meninggalnya saudaraku ”
Setelah kekalahan Jipang atas Pajang maka berakhirlah kemelut yang selama ini terjadi di Demak, Ki Pemanahan disuruh memberi tahukan kabar kepada Ratu Kalinyamat bahwa Arya Penangsang telah tewas dalam medan perang melawan Pajang. Setelah itu Ratu Kalinyamat diminta kembali, sesuai janji yang telah di ucapkan bahwa barang siapa yang mampu mengadili Arya Penangsang maka akan di beri kerajaan Kalinyamat, akan tetapi entah kenapa Hadiwijaya tidak berkenan dan sang ratu diminta kembali untuk memimpin Jepara, ada interpretasi mengapa Hadiwijaya tetap membiarkan kekuasaan Ratu Kalinyamat, Pertama tampaknya Pangeran Hadiwijaya sangat menghormati kakak iparnya sehingga tidak perlu meminta kerajaan Kalinyamat, kedua karena Pangeran Hadiwijaya sibuk berkonsolidasi wilayah untuk mendapatkan pengakuan dari para penguasa daerah yang lain, ketiga karena kerajaan Kalinyamat tidak merupakan ancaman bagi kerajaan Pajang. (Sumber: M. Nur Arifin - Dok. Langgart)
Refrensi
Soebekti, Babad Desa Tulakan Pertapaan Ratu Kalinyamat, Rahma, 2001, hlm. 1-7
Wawancara dengan Bapak R. Ng. Suparni Juru Kunci di Dukuh Sonder, 21 Juli 2010
Tim Penyusun Naskah Sejarah Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat,op.cit., hlm. 26
Ridin Sofyan, dkk, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta, cet. ke II, 2004, hlm. 1
Wawan Susetya, Kontraversi Ajaran Kebatinan, Agromedia Pustaka, Tangerang, 2007, hlm. 11
Sudibjo Z. H, Babad Tanah Jawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1980, hlm. 66
Purwadi dan Kazonori Toyoda, Babad Tanah Jawi, Glombang Pasang, Jogjakarta, 2007, hlm. 90-92
Miftahus Surur, Selamat Tinggal Kartini Selamat Datang Ratu Kalinyamat, dalam Srinthil Nomor 9, 2006, hlm. 18
H. J. De Graaf menyatakan bahwa keruntuhan dan kehancuran Demak adalah keikut campurannya orang-orang keramat (wali) khusunya Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, yang telah terjadi persaingan yang sangat sengit, kedua orang ini dianggap sebagai guru yang sangat mashur memiliki muridmurid terhormat dikalangan kerajaan, yang selanjutnya berebut kursi kekuasaan Demak.
Ada yang berpendapat bahwa wali terpecah menjadi dua golongan, terutama penyikapan dalam berdakwah kepada masyarakat. Pertama: yang disebut dengan islam putihan yakni menampilkan ajaran islam secara ortodoks dan kaku, cenderung formal yang di motori oleh Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Maulana Malik Ibrahim. Kedua: islam abangan yakni menampilkan ajaran islam yang santun, toleran, lentur, serta tidak kaku terhadap masyarakat Jawa yang masih awam diantaranya di lakukan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Bonong. 166 Keadaan seperti itu yang sebetulnya sangat mempengaruhi keadaan pada waktu itu sehingga dakwah dalam bidang agama juga terserat dalam wilayah politik.
Para wali Selain memegang peranan penting sebagai penyebar agama, mempunyai kedudukan penting dalam bidang politik, pendidikan dan kebudayaan. Intrik Politik yang terjadi di Demak juga melibatkan para wali, sehingga kehancuran Demak juga tidak dapat di lepaskan dari campur tangan wali pada masa itu.
Di antara para wali yang tergabung dalam walisongo telah terjadi persaingan yang sangat tajam antara guru yang mengajar agama islam dan guru yang mengajar ilmu kesaktian. Di antara wali Sunan Giri yang berpegang teguh pada syariat islam, sedangkan Sunan kudus paling banyak muridnya dan terdiri atas golongan bangsawan yang memegang kunci pemerintahan. Di antara murid Sunan Kudus adalah Pangeran Aryo Penangsang, Sunan Prawata dan Hadiwijoyo (Jaka Tingkir), sementara itu Sunan Kalijaga memiliki murid yang tidak begitu tinggi satatus sosialnya. Mereka berasal dari selo yang terdiri dari Ki Pemanahan, Ki Jurumertani dan Ki Penjawi.
Bergabungnya Sunan Prawata bersama Hadiwijoyo kepada kelomok murid Sunan Kalijaga dari selo sebagai sahabat, menurut penilaian Sunan Kudus karena kehendak Sunan Kalijaga. Penggabungan ini dianggap mengurangi kewibawaan dan melecehan Sunan Kudus. Arya Penangsang adalah murid terkasih yang tetap setia kepada gurunya, Sunan Kudus. Ia telah di dukung untuk bertindak balas dendam dan menuntut hak tahta atas Demak oleh Sunan Kudus. Pada saatnya Arya Penangsang menghadapi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tahta Demak, khususnya dalam menghadapi lawan politiknya ia selalu meminta nasehat dan bantuan dari gurunya. Hubungan antara guru dengan murid tidak hanya terjalin melalui segi sepiritual saja, karena masalah agama dapat juga dipakai sebagai konsentrasi alat politik. Guru-guru yang berwibawa itu tidak hanya membatasi pada ajaran sepiritual, melainkan bertindak sebagai ahli poliitik dan ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan.
Dalam masalah perebutan tahta ini terdapat pertentangan pendapat diantara para wali. Sunan Giri sebagai ketua para wali tidak setuju apabila pangeran Sekar diangkat sebagai raja, sedangkan Sunan Kudus justru mendukungn pangeran Sekar di nobatkan sebagai Raja Demak. Menurut Sunan Kudus Pangeran Sekar adalah purtra laki-laki tertua. Namun menurut Sunan Giri, bobot keagamaan Pangeran Sekar jauh dibawah Pangeran Trenggono, sehingga Pangeran Trenggono diharapkan bisa mengganti Pati Unus. Akhirnya Pengeran Trenggono lah yang dinobatkan menjadi raja oleh para wali.
Persoalan ini terus berlanjut hingga akhir pemerintahan Trenggono. Ketika Sultan Trenggono wafat, ada konsep politik para wali yang saling bertentangan. Suna Giri yang memegang teguh syariat mencalonkan pangeran Prawoto menduduki tahta Demak, meskipun ia telah tercemar pernah membunuh Pangeran Sekar. Sementara itu Sunan Kudus mencalonkan Arya Penangsang, Adi Pati Jipang putra Pangeran Sekar. Alasanya karena Aryo Penangsang adalah pewaris langsung kesultanan Demak dari garis laki-laki tertua. Adapun Sunan Kalijaga mendukung Hadiwijaya dan menghendaki kerajaan dipindahkan ke daerah pedalaman, berbeda dengan Sunan Kudus yang berorientasi pada kerajaan pesisiran.
Hal tersebut menyebabakan kekacauan di Demak yang mengakibatkan kondisi sosial pada waktu itu tidak tentram lagi, hingga banyak sekali terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh oposisi, Arya Penangsang. Arya Penangsang dituduh banyak melakukan kejahatan dan pembunuahan.
Setelah mendapat restu dari Sunan Kudus Arya Penangsang menyuruh abdinya yang bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawata, Rangkut seketika sudah sampai kerumah Sunan Prawata, ketika itu Sunan Prawata sedang sakit keras yang baru bersandar di dada istrinya, melihat kedatangan tamu tak di undang Sunan Perawata bertanya, “siapa kamu?”
Rangkut menjawab, “hamba utusan Adipati Arya Penangsang, disuruh membunuh paduka.” Sunan Prawata berkata,” iya sekehendakmu. Akan tetapi aku saja yang kamu bunuh, jangan kau ikutkan orang lain.” Rangkut lalu menusuk Sunan Prawata dengan sekuat tenaga sampai tembus punggung dan mengenai di dada sang istri. Sunan Prawata melihat istrinya terluka, segera menarik kerisnya, bernama Kiyai Betok, dan dilemparkan kearah Rangkut, Rangkut terkena dan seketika tewas, Sunan Prawata dan istrinya juga tewas pada tahun 1549.
Ratu Kalinyamat adalah saudara kandung Sunan Prawata, mendengar kabar itu hati Ratu Kalinyamat seperti ditusuk sembilu, setelah menghadiri pemakaman kakaknya, sang ratu di temani suaminya Pangeran Hadirin pergi menghadap Sunan Kudus untuk meminta keadilan, sesampai di kediaman Sunan Kudus mengutarakan semua permasalahan yang telah menimpa kakaknya Sunan Prawata yang tewas bersama istrinya dibunuh oleh suruhan murid tercintanya: Arya Penangsang, menanggapi pengaduan itu Sunan Kudus berkata, “kakangmu Prawata itu telah berhutang pati terhadap Arya Penangsang, maka kematiannya adalah tebusannya,” Ratu Kalinyamat mendengar Jawaban dari Sunan Kudus demikian sangat sedih hatinya. Ia lalu kembali pulang. Di jalan ia dirampok oleh utusan Arya Penangsang, suami
Ratu Kalinyamat di bunuh. Ratu Kalinyamat sangat menderita sebab barubaru saja kematian saudaranya, kini malah suaminya menyusul jadi sangat prihatin.
Entah apa yang dirasakan Ratu Kalinyamat melihat kenyataan bahwa satu persatu orang yang sangat di cintainya dibunuh oleh Arya Penangsang yang masih saudaranya. Apalagi ketika ia tahu bahwa dibalik peristiwa ini terdapat campur tangan wali, Kanjeng Sunan Kudus yang cukup terkenal ortodoksinya, bingung, geram, haru, duka camur aduk menjadi satu, “ini
kesewenang-wenangan, ini tidak adil” rintih sang ratu. Penderitaan yang sangat dalam menyelimuti hidup sang ratu. Arya Penangsang mempunyai kedikdayaan tanpa tanding tidak ada orang yang berani dan bisa mengalahkan pada waktu itu, apa lagi di belakangnya ada Sunan Kudus yang selalu membantunya, keadan sudah tidak bisa terkontrol lagi, tokoh agama sebaga penyebar agama islam sebagai dalang dibalik semua kejadian.
Maka timbullah tekad Ratu Kalinyamat untuk memohon pertolongan kepada Tuhan dengan cara menyepi, menyendiri, bertapa, di tempat yang jauh dari keramaian dunia, demikian lah pada suatu hari yang telah ditentukan dengan membawa bekal secukupnya, berangkatlah Ratu Kalinyamat dengan pengiring beberapa dayang-dayang kinasih dan beberapa orang lagi yang di pimpin oleh Ki Suta Mangunjaya, mencari tempat utuk bertapa.
Ratu Kalinyamat bertapa tidak jauh dari pesanggrahannya. Hanya beberapa meter kearah timur. Di situ ada tempat yang luas, dengan pohon besar yang rimbun. Apalagi letaknya ada di pinggir sungai. Maka tempat itu betul-betul cocok untuk bertirakat. Tempat itu kemudian hingga sekarang disebut dengan nama “gilang”. Berasal dari kata gilang-gilang atau luas.
Bahkan masih ditemukan di situ batu bekas alas sembahyang sang Ratu dan pancuran tempat berwudlu. Kabar pertapaan Ratu Kalinyamat sampai ke Pajang terdengar oleh Hadiwijaya, setelah mendapatkan pengarahan dari Ki Panjawi, Hadiwijaya memutuskan untuk pergi menjenguk kakaknya kesana, ia membujuk kakak iparnya itu berkenan meninggalkan pertapaan dan kembali kekeraton. Tetapi sang ratu telah bertekat bulat. Bahkan akhirnya Ratu Kalinyamat memindah tempat pertapaannya ke Gunung Donoroso yang sekarang berada di Desa Pengkol (Loji Gunung), karena di sini juga dikira sudah tidak memungkinkan lagi untuk menenangkan pikiran, maka Ratu Kalinyamat pindah lagi untuk mencari tempat yang tepat. Maka sang ratu memutuskan untuk mencari tempat itu bersama beberapa dayangnya.
Selama dalam perjalanan setelah beberapa hari melakukan perjalanan., rombongan Ratu Kalinyamat bertemu dengan seorang yang bernama Ki Pejing, Ki Pejing menunjukkan tempat yang sangat bagus untuk bertapa, yaitu tempat di tepi sungai kecil yang airnya jernih dan selalu mengalir sepanjang tahun, di samping itu tanah yang ditunjukan tersebut berbau harum, karena baunya yang harum maka tempat yang akan dijadikan pertapaan Ratu Kalinyamat disebut sebagai sitiwangi (siti = tanah wangi = harum jadi tanah yang berbau harum), setelah segalanya dipersiapkan Ratu Kalinyamat sebelum mulai bertapa terlebih dahulu mandi dan bersuci (wudlu) di sungai kecil yang berada disamping pertapaan tersebut.
Ratu Kalinyamat bertapa di atas batu yang sangat lebar, batu itu dijadikan alas untuk menjalankan shalat dan sambil bermunajat kepada Allah, berdzikir dan bertafakur. Namun Hadiwijaya tidak putus asa ia tetap memutuskan utuk pergi menyusul kakaknya kesana, Sultan lalu pergi ke Lereng Gunung Donorojo pada malam hari bersama Ki Pemanahan, Ki Panjawi, dan Ketiga Raden Ngabehi Loring Pasar (Danang Sutawijaya), setelah sampai di tempat pertapaan Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas Prabu, apa maksud kedatanganmu kemari?”
Sultan Pajang menjawab, “Mbakyu, saya kesini karena mendengar berita, kalau Mbakyu meninggalkan negeri, bertapa di Gunung Donorojo serta tidak berkain, apakah yang menjadi kesusahan hati Mbakyu: Sultan Pajang berusaha menghibur, adapun kematian kakang Kalinyamat sudah takdir Allah,” Ratu Kalinyamat berkata, “aku sangat bahagi dengan kedatanganmu kemari akan tetapi saya sudah bertekat bahwa sebelum mendapatkan kedilan dari Gusti Allah, saya tidak akan memakai kain sebelum Arya Penangsang yang menimbulkan keonaran, dan pembunuhan dapat dihukum sesuai dengan angkara yang di perbuat,”
Ratu Kalinyamat meneruskan perkataannya, “dan barang siapa yang mampu mengembalikan keadaan dengan meringkus orang-orang yang telah berbuwatdzolim maka kekayaan dan kerjaan yang saya miliki akan saya berikan kepada orang tersebut,” Sultan Pajang tertegun mendengar perkataan sang ratu, Sultan Pajang sebetulnya bermaksud menolong Ratu Kalinyamat untuk meringkus Arya Penangsang, akan tetapi tidak berani karena Arya Penangsang adalah jagoan pilih tanding pada waktu itu, atas dorongan dari Ki Panjawi Sultan Pajang berani memutuskan untuk meringkus Arya Penangsang, setelah terjadi musyawarah panjang antara Ki Panjawi, Ki Pemanahan, Ki Mentahun akhirnya Arya Penangsang (Adati Jipang) bisa diringkus di tangan Raden Ngabehi Loring Pasar, maka setelah itu berakhirlah kerajaan Demak dan dipindah ke Pajang.
Cerita pertapan Ratu Kalinyamat yang menjalakan tirakat “Topo wudo” atau telanjang ini di dasarkan pada naskah Babad Tanah Jawi edisi meinsma- olthof, sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Dalam naskah Babad Tanah Jawi sering di tuturkan dalam rakitan tembang pungkur yang sangat memikat:
Nimas Ratu Kalinyamat
Tilar pura mertapa aneng wukir
Tapa wuda singjang Rambut
Aneng wukir Donorojo
Aprasapa nora tapih-tapihan ingsun
Yen tan antuk adiling Hyang
Patine sedulur mami
Artinya:
“Nimas Ratu Kalinyamat Meninggalkan istana bertapa di gunung Bertapa telanjang berkain rambut Di gunung Donorojo Bersumpah tidak (akan) sekali-kali memakai pakaian Jika tidak memeroh keadilan Tuhan (atas) meninggalnya saudaraku ”
Setelah kekalahan Jipang atas Pajang maka berakhirlah kemelut yang selama ini terjadi di Demak, Ki Pemanahan disuruh memberi tahukan kabar kepada Ratu Kalinyamat bahwa Arya Penangsang telah tewas dalam medan perang melawan Pajang. Setelah itu Ratu Kalinyamat diminta kembali, sesuai janji yang telah di ucapkan bahwa barang siapa yang mampu mengadili Arya Penangsang maka akan di beri kerajaan Kalinyamat, akan tetapi entah kenapa Hadiwijaya tidak berkenan dan sang ratu diminta kembali untuk memimpin Jepara, ada interpretasi mengapa Hadiwijaya tetap membiarkan kekuasaan Ratu Kalinyamat, Pertama tampaknya Pangeran Hadiwijaya sangat menghormati kakak iparnya sehingga tidak perlu meminta kerajaan Kalinyamat, kedua karena Pangeran Hadiwijaya sibuk berkonsolidasi wilayah untuk mendapatkan pengakuan dari para penguasa daerah yang lain, ketiga karena kerajaan Kalinyamat tidak merupakan ancaman bagi kerajaan Pajang. (Sumber: M. Nur Arifin - Dok. Langgart)
Refrensi
Soebekti, Babad Desa Tulakan Pertapaan Ratu Kalinyamat, Rahma, 2001, hlm. 1-7
Wawancara dengan Bapak R. Ng. Suparni Juru Kunci di Dukuh Sonder, 21 Juli 2010
Tim Penyusun Naskah Sejarah Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat,op.cit., hlm. 26
Ridin Sofyan, dkk, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta, cet. ke II, 2004, hlm. 1
Wawan Susetya, Kontraversi Ajaran Kebatinan, Agromedia Pustaka, Tangerang, 2007, hlm. 11
Sudibjo Z. H, Babad Tanah Jawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta, 1980, hlm. 66
Purwadi dan Kazonori Toyoda, Babad Tanah Jawi, Glombang Pasang, Jogjakarta, 2007, hlm. 90-92
Miftahus Surur, Selamat Tinggal Kartini Selamat Datang Ratu Kalinyamat, dalam Srinthil Nomor 9, 2006, hlm. 18