SASTRA Jawa sebagai
suatu istilah yang menunjuk kepada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang
meliputi berbagai macam dimensi, yaitu : pertama adalah teori sastra Jawa ,
(yaitu membicarakan tentang pengertian sastra Jawa, unsur-unsur yang membentuk
terjadinya sastra Jawa, jenis-jenis sastra Jawa dan perkembangan pemikiran
sastra Jawa), yang kedua adalah sejarah sastra Jawa (yaitu membicarakan
dinamika tentang sastra Jawa, pertumbuhan / perkembangan suatu karya sastra
Jawa tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya
sastra Jawa, termasuk karya sastra Jawa ketika terkait dengan kondisi ideologi
dan sosial yang mempengaruhinya), yang ketiga adalah kritik sastra Jawa (yaitu
membicarakan pemahaman, penafsiran, penilaian dan penghayatan terhadap suatu
karya sastra Jawa)1
Kata sastra dalam kamus bahasa
Indonesia berasal dari bahasa sansekerta ; berasal dari akar kata “sas” dalam
kata kerja turunan yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk /
instruksi. Akhiran “tra” menunjuk pada alat atau sarana. Sehingga sastra Jawa
berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku
instruksi atau pengajaran. Sastra juga bisa bersifat kesenian yang diwujudkan
dengan bahasa, seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah.2
Biasanya kata sastra awalan “su”
(menjadi susastra), su artinya baik, indah sehingga istilah susastra berarti
pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal
yang baik dan indah atau dengan kata lain tulisan yang indah dan sopan.3
Sedangkan kata Jawa adalah salah
satu pulau besar yang terpadat penduduknya di wilayah Republik Indonesia yang
secara administratif terbagi menjadi tiga propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dialek bahasa yang digunakan setiap hari oleh orang Jawa
adalah bahasa daerah masing-masing. Di antara berbagai bahasa daerah di
Indonesia, bahasa Jawa memiliki domentasi yang sangat penting dan lengkap
antara lain adalah prasasti dan karya sastra dari masa 800 – 1500 M yang masih
tersimpan sampai dewasa ini dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno.4
Salah satu fungsi sastra Jawa
adalah mengungkapkan adanya nilai keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas.
Karya sastra Jawa dapat dikatakan memiliki nilai keindahan dan manfaat karena
setiap karya sastra Jawa yang terungkap dalam bentuk puisi, prosa maupun drama
merupakan
suatu karya sastra yang dapat
dinikmati baik bagi pembaca, pendengar maupun penontonnya. Sehingga baik
pembaca, pendengar maupun penontonnya tidak bosan. Tergantung pada kualitas
suatu karya sastra Jawa tersebut, apabila kualitas karya sastra Jawa tersebut
rendah maka tentunya akan membosankan pembaca, pendengar maupun penonton.
Sebaliknya apabila suatu karya sastra Jawa tersebut memiliki kualitas yang
tinggi, walaupun di ulang-ulang para pembaca, pendengar maupun penontonnya
tidak akan membosankan.
Demikian juga suatu karya sasta
Jawa mengandung nilai moral, hal ini dapat dilihat dari berbagai karya sastra
Jawa baik berupa puisi, prosa maupun drama tentu akan memiliki tema yang
menjadi target atau misi yang terkandung dalam setiap karya sastra tersebut.
Misalnya karya sastra Jawa
yang ditulis oleh para pujangga
tentunya akan memiliki maksud dan misi yang diembannya. Maksud dan misi itu
biasanya berisi pelajaran yang berupa berbagai nasehat, petunjuk ataupun
bimbingan kepada semua orang dalam memperbaiki kehidupan.
Tapi pada dasa warsa terakhir ini
keberadaan sastra Jawa tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan sastra Jawa
berada di titik rawan kepunahan. Hal ini bukan tanpa alasan karena sudah sejak
lama huruf Jawa dilupakan dan ditinggalkan dipendidikan-pendidikan formal.
Proses termarginalisasinya sastra Jawa terjadi sejak tersapunya tembang macapat
oleh teriakan lagu-lagu
rock ataupun pop melayu. Semua
ini dapat terjadi dengan adanya desakan nasionalisme yang mengedepankan
pandangan bahwa bangsa Indonesia harus mewadah dalam bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional.5
Meskipun dalam penjelasan UUD
1945 Bab XV pasal 36 berbunyi bahwa “Bahasa daerah akan dilindungi, dipelihara
dan dihormati”. Tetapi kenyataan sistem pemerintahan di Indonesia lebih
diarahkan kepada konsep persatuan dan kesatuan yang bermuara pada slogan
politis nasionalisme
sehingga pada akhirnya upaya
perlindungan pemerintah terhadap sastra Jawa yang dijamin oleh undang-undang
cenderung terabaikan.6
Untuk mengangkat keterpurukan
sastra Jawa, ada sebagian orang Jawa yang mendirikan sanggar-sanggar sastra
Jawa sebagai wadah kegiatan sastrawan Jawa. Sehingga bermunculan berbagai
sanggar sastra Jawa, antara lain sanggar Nur Praba yang diprakarsai oleh Nur
Syahid Poernomo, sanggar sastra Sasanamulya yang diprakarsai oleh Arswendo
Atmowiloto, Grub Diskusi Sastra Blora yang diprakarsai oleh Poer Adhie Prawoto,
sanggar sastra Pari Kuning yang diprakarsai oleh Esmiet dan lain sebagainya.
Kegiatan-kegiatan yang paling
dominan dari sangar-sanggar sastra Jawa tersebut adalah mengadakan diskusi yang
berguna untuk memotivasi anggota / peserta agar terus mencintai, melindungi
bahkan menciptakan sastar Jawa.7
Memang sebagai bahan dasar sastra
Jawa adalah bahasa Jawa, Bahasa Jawa yang digunakan dalam kesusastraan Jawa
memang berbeda dengan keilmuan maupun dengan bahasa yang digunakan sehari-hari.
Mengemukakan bahwa bahasa sastra Jawa mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada
nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra Jawa berusaha mempengaruhi,
membujuk dan pada akhirnya berusaha mengubah sikap pembaca. Hal ini yang
penting dalam bahasa sastra Jawa adalah tanda, simbolisme dari kata-kata dalam
sastra Jawa tersebut. Dalam bahasa sastra Jawa sarana-sarana bahasa
dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan sengaja. Berbicara mengenai
sastra Jawa maka tidak lepas dari fungsi dan sifatnya, yaitu untuk menghibur
dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia.8
Manuskrip-manuskrip Jawa (sastra
Jawa) yang saat ini tersebar keberadaannya dimusium-musium dalam maupun luar
negeri, serta tempattempat lain sebagai milik pribadi, merupakan sumber utama
dalam menyingkap sejarah Islam Jawa dan pemikirannya. Oleh karena itu saya
sebagai peniliti naskah Jawa
ingin mengungkap masalah tersebut karena merupakan warisan yang sangat berharga
dari nenek moyang yang perlu dikaji dan perlu diteliti.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa
ada suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu agama Budha, Hindu dan keprecayaan
asli yang berdasarkan pada animisme dan dinamisme telah berurat akar pada masyarakat
ini. Maka dengan kedatangan Islam, terjadilah benturan antara Islam di satu
pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya.
Di lain pihak ada sekelompok
masyarakat yang bisa menerima Islam dengan sepenuh hati, ada pula masyarakat
yang bisa menerimanya tetapi belum bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan lama
dan ada pula yang menolak dan menantangnya, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dengan adanya tiga kelompok
masyarakat dalam menerima Islam, muncullah tiga macam kepustakaan Jawa (sastra
Jawa). Yang pertama adalah kepustakaan Islam santri, yaitu suatu kepustakaan
yang berlandasan pada syari’ah dan bisa diterima di semua lapisan mayarakat
muslim. Kedua adalah kepustakaan Islam kejawen yang memuat perpaduan antara
Jawa lama dengan unsur-unsur dari agama Islam. Dan ketiga adalah sastra yang
muncul dari kalangan yang menolak Islam, meskipun tidak berani terang-terangan.9
Dari ketiga keterangan mengenai
pembagian karya sastra Jawa di atas akan dijabarkan pada sub bab selanjutnya. (Dok: Langgart)
Refrensi:
1Asmoro Achmadi, Islam dalam
Sastra Pujangga, edisi no. 4 Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa,
Dewaruci, 2002, hlm. 1
2W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 875
3HAN KOL, Ensiklopedi Indonesia,
P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, t.th., hlm. 895 4Ibid., hlm. 1599
8H. M. Darori Amin, MA., Islam
dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hlm. 140-141
5Herry Mardiyanto, (artikel) Terpuruknya
Sastra Jawa, Sleman, Yogyakarta, t.th., hlm. 1
6Ibid., hlm. 2
7Ibid., hlm. 2-3