SUKRASANA memiliki seoarang kakak yang sangat tampan
bernama Bambang Sumantri. Keduanya adalah
putera Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan Dewi Darini. Namun berbeda
dengan Sukrasana berwujud raksasa kerdil dan wajah yang seram.
Namun
begitu Sukrasana memiliki kesaktian yang luar biasa dan hati mulia. Sukrasana
mengabdi pada Bathara Wisnu dan bertugas sebagai juru taman Sriwedari di
Kahyangan Untarasegara. Sedangkan kakaknya Sumantri menjadi elite kekuasaan
Raja Agung Harjuna Sasrabahu.
Ia
bisa menjadi bagian keluarga elit kerajaan semata-mata karena bantuan adiknya
Sukrasana, pada saat itu Raja Agung Harjuna Sasrabahu meminta untuk memindahkan
taman Sriwedari ke Maesapati dan Sukrasana berhasil memindahkannya. Namun
karena memiliki wajah buruk rupa, Sumantri meminta adiknya untuk pergi dan
bahkan menakutinya dengan panah. Tanpa sengaja busur panah itu melesat dan
menusuk perut Sukrasana.
Sekilas
cerita Kiai Cungkring kepada Santrinya.
Lalu Kiai Cungkring bertutur, “Sosok Sukrasana adalah sosok luar biasa yang
tidak memiliki mentalitas kekuasaan yang hanya ia inginkan mengajak kakaknya
untuk kembali ke pertapaan di Kahyangan Untarasegara. Berbeda dengan Kakaknya
yang menginginkan kekuasaan dan kekuasaan ala Harjuna adalah kekuasaan dengan
mentalitas borjuis dan hedonis.”
“Lain
lagi di negeriku
Kiai, elit politik sangat mencintai kekuasaan dan bahkan sama dengan elit
kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu. Elit politik saling berebut,
menjatuhkan lawannya satu sama lain,” kata Santri
Kiai
Cungkring
mengungkapkan, Sukrasana adalah sosok manusia yang mampu melenyapkan ego dan
superegonya. Ia berusaha untuk menjadi hamba Tuhan dengan segala ketundukan dan
memiliki kearifan. Di akhirnya ajalnya, ia masih mengatakan kerindauan kepada
Kakaknya Sumantri dan diajaknya hidup di surga bersamanya.
“Mereka
suka menonjolkan kemewahan, dikelilingi wanita-wanita cantik, suka dunia
pencitraan dan menghamburkan kas negara untuk perjalanan dinas dan dikorupsi,”
sahut Santri
“Bahkan agamapun dilumatnya, Kiai”
“Pada era demokrasi, tokoh-tokoh agama yang memiliki massa akan mudah tergoda untuk menggunakan simbol-simbol agama atau kemudian disebut politisasi agama. Sehingga menjadi peluang politik. Jadi, komersialisasi dan politisasi simbol-simbol agama masih akan menguat. Oleh karena bangsa kita dengan asset kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, rakyat secara ekonomi belum mandiri dan pemerintah belum mampu mengelolanya. Sehingga hal ini menjadi peluang untuk diduduki. Maka agama oleh partai politik dan pemilik modal bisa menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai jual tinggi,” tutup Kiai Cungkring. (Lukni An Nairi)
“Pada era demokrasi, tokoh-tokoh agama yang memiliki massa akan mudah tergoda untuk menggunakan simbol-simbol agama atau kemudian disebut politisasi agama. Sehingga menjadi peluang politik. Jadi, komersialisasi dan politisasi simbol-simbol agama masih akan menguat. Oleh karena bangsa kita dengan asset kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, rakyat secara ekonomi belum mandiri dan pemerintah belum mampu mengelolanya. Sehingga hal ini menjadi peluang untuk diduduki. Maka agama oleh partai politik dan pemilik modal bisa menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai jual tinggi,” tutup Kiai Cungkring. (Lukni An Nairi)