google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sukrasana Jadi Raja di Jakarta

SUKRASANA memiliki seoarang kakak yang sangat tampan bernama Bambang Sumantri. Keduanya adalah putera Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan Dewi Darini. Namun berbeda dengan Sukrasana berwujud raksasa kerdil dan wajah yang seram.

Namun begitu Sukrasana memiliki kesaktian yang luar biasa dan hati mulia. Sukrasana mengabdi pada Bathara Wisnu dan bertugas sebagai juru taman Sriwedari di Kahyangan Untarasegara. Sedangkan kakaknya Sumantri menjadi elite kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu.

Ia bisa menjadi bagian keluarga elit kerajaan semata-mata karena bantuan adiknya Sukrasana, pada saat itu Raja Agung Harjuna Sasrabahu meminta untuk memindahkan taman Sriwedari ke Maesapati dan Sukrasana berhasil memindahkannya. Namun karena memiliki wajah buruk rupa, Sumantri meminta adiknya untuk pergi dan bahkan menakutinya dengan panah. Tanpa sengaja busur panah itu melesat dan menusuk perut Sukrasana.

Sekilas cerita Kiai Cungkring kepada Santrinya. Lalu Kiai Cungkring bertutur, “Sosok Sukrasana adalah sosok luar biasa yang tidak memiliki mentalitas kekuasaan yang hanya ia inginkan mengajak kakaknya untuk kembali ke pertapaan di Kahyangan Untarasegara. Berbeda dengan Kakaknya yang menginginkan kekuasaan dan kekuasaan ala Harjuna adalah kekuasaan dengan mentalitas borjuis dan hedonis.”

“Lain lagi di negeriku Kiai, elit politik sangat mencintai kekuasaan dan bahkan sama dengan elit kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu. Elit politik saling berebut, menjatuhkan lawannya satu sama lain,” kata Santri

Kiai Cungkring mengungkapkan, Sukrasana adalah sosok manusia yang mampu melenyapkan ego dan superegonya. Ia berusaha untuk menjadi hamba Tuhan dengan segala ketundukan dan memiliki kearifan. Di akhirnya ajalnya, ia masih mengatakan kerindauan kepada Kakaknya Sumantri dan diajaknya hidup di surga bersamanya.

“Mereka suka menonjolkan kemewahan, dikelilingi wanita-wanita cantik, suka dunia pencitraan dan menghamburkan kas negara untuk perjalanan dinas dan dikorupsi,” sahut Santri

“Bahkan agamapun dilumatnya, Kiai”

Pada era demokrasi, tokoh-tokoh agama yang memiliki massa akan mudah tergoda untuk menggunakan simbol-simbol agama atau kemudian disebut politisasi agama. Sehingga menjadi peluang politik. Jadi, komersialisasi dan politisasi simbol-simbol agama masih akan menguat. Oleh karena bangsa kita dengan asset kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, rakyat secara ekonomi belum mandiri dan pemerintah belum mampu mengelolanya. Sehingga hal ini menjadi peluang untuk diduduki. Maka agama oleh partai politik dan pemilik modal bisa menjadi salah satu komoditas yang memiliki nilai jual tinggi,” tutup Kiai Cungkring. (Lukni An Nairi)