AL-GHOZALI memaparkan dalam
Kitabnya Ihya’ Ulumuddin bahwasanya zuhud di dunia merupakan kedudukan
yang paling mulia bagi orang yang meniti kepada jalan Allah Swt. Zuhud di sini
merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan zuhud di dunia
untuk kepentingan akhirat baik secara penuh untuk keridhoan Allah Swt, ataupun
untuk mendapatkan pahala dan kebahagiaan di akhirat dengan Surga.
Al Ghazali memaparkan mengenahi pengertian tentang Zuhud
dengan ibarat dari kebencian kepada dunia, dengan berpaling kepada akhirat.
Atau selain Allah Swt, dengan berpaling kepada Allah Swt. Di lain pihak al
Ghazali megatakan bahwasanya tidak termasuk zuhud bagi seseorang yang
meninggalkan harta dan memberikannya atas jalan kemurahan hati dan ke belas
kasihan, atas jalan menarik hati seseorang dan atas jalan kelobaan, karena
semua itu termasuk adat kebisaaan manusia yang baik, akan tetapi zuhud di sini
adalah meninggalkan dunia karena tahu dengan kehinaan dunia, dikaitkan dengan
kebagusan akhirat yang digambarkan oleh orang-orang yang beriman.
Dengan hal tersebut di atas al Ghazali menyatakan bahwa
orang yang zuhud adalah siapa yang didatangi oleh dunia dengan memaksa, hatinya
bersih dan meminta maaf dan orang itu sanggup menikmati dunia itu, tanpa
berkekurangan kemegahan dan buruk nama dan tidak kehilangan bagi diri, lalu
ditinggalkannya dunia tadi karena takut hatinya berjinakan dengan dunia. Lalu
ia berjinakan hatinya dengan selain Allah Swt dan mencintai bagi yang selain
Allah Swt dan ia mempersekutukan kecintaan kepada Allah Swt ta’ala dengan lain
atau ia meninggalkan dunia, karena mengharap pahala yang diberikan oleh Allah Swt
di akhirat.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa zuhud
merupakan perilaku manusia yang dilakukan di dunia dengan berpaling dari sesuatu
yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik dengan benci terhadap sesuatu yang
bersifat duniawiyah dengan mengarah kepada perbuatan yang mencintai akhirat
atau berpaling dari selain Allah Swt kepada Allah Swt. Sehingga akhirat dan
keridhoan Allah Swt merupakan sesuatu yang paling puncak dalam melakukan zuhud.
Al-Ghozali dalam berbicara zuhud mensyaratkan bahwa yang
dicintai itu harus lebih baik daripada yang ditinggalkan dan yang ditinggalkan
itu ada kemungkinan bisa diperoleh dengan membenci sesuatu yang mustahil, bukan
termasuk zuhud. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam zuhud yakni Ilmu,
Hal-Ihwal dan Amal. Perwujudan ilmu ialah seseorang betul-betul mengetahui
dunia itu lebih rendah nilainya dibanding akhirat. Sedangkan perwujudan hal
ihwal (keadaan jiwa) yaitu keadaan batin atau jiwa seseorang yang meninggalkan
dunia karena dianggapnya lebih rendah daripada akhirat dan kedua sikap tersebut
harus diwujudkan dalam perbuatan (amal).
Dalam memperkuat pendapatnya al-Ghozali banyak mengambil
ayat alqur’an, hadits rasul, ucapan para sahabat dan para ulama yang berkaitan
dengan hal tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt pada surat Annisa:77 yang
berbunyi:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ
لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Artinya: Katakanlah:
Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.(Qs.
An-Nisa: 77).
Dari ayat
tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan dunia sebagaimana yang dipandang oleh
orang-orang yang berzuhud (zahid) merupakan sesuatu yang hancur dan tidak abadi
sehingga para zahid menginginkan suatu kehidupan yang abadi untuk itu para
zahid melakukan perjuangan dalam mewujudkan kehidupan yang abadi dengan
berusaha membenci terhadap dunia dengan berbagai macam bentuknya, dan kemudian
memusatkan kehidupan di dunianya untuk kepentingan akhirat dan keridhoan Allah Swt.
1.
Hukum Zuhud
Berbicara mengenahi hukum zuhud al Ghazali sebagaimana
yang dikutipnya dari perkataan Ibrahim bin Adham membagi dengan tiga macam
yaitu: Pertama, Fardlu untuk zuhud kepada yang haram. Kedua,
zuhud kepada yang halal. Dan ketiga adalah selamat yang merupakan zuhud kepada
yang syubhat (yang diragukan tentang hal atau haramnya). Semua hukum ini
tergambar pada aplikasi zuhud dalam kehidupan para zahid, khususnya dalam
melakukan perbuatan dan tanggapan terhadap kehidupan dunia pada zaman sekarang.
Dengan hal tersebut jelas bahwa bentuk zuhud pada zaman sekarang tidaklah
semurni zuhudnya para nabi, sahabat dan ulama pada masa dahulu, melainkan zuhud
yang sudah dipahami dengan berbagai macam interpretasi ataupun penafsiran yang
kontekstual.
2.
Derajat-derajat dan tujuan Zuhud
Karena zuhud merupakan suatu sikap, maka ia
bertingkat-tingkat (derajat zuhud) kadang berlebih dan kadang juga berkurang
untuk itu al-Ghazali membagi menjadi tiga yaitu:
1)
Tingkat yang terendah, orang yang zuhud di dunia dan ia
rindu kepadanya. akan tetapi hatinya masih cenderung kepada dunia. Nafsunya
berpaling kepada dunia. akan tetapi, ia berusaha sungguh-sungguh mencegahnya.
Orang ini berusaha untuk tetap zuhud, tingkatan ini disebut mutazahhid (orang
yang berusaha untuk zuhud) dan ini adalah langkah awal untuk zuhud.
2)
Meninggalkan dunia dengan mudah, karena dipandangnya hina
dunia itu, dengan dikaitkan yang diharapkannya. Artinya zahid di sini
menginginkan balasan dari Allah Swt.
3)
Zuhud yang tertinggi, dimana tidak ada keinginan suatu
apapun, selain kepada Allah Swt dan kepada menemui Allah Swt. Hatinya tidak
berpaling pada kesakit-sakitan dengan maksud hendak melepaskan diri
daripadanya. Zahid di sini menghabiskan semua cita-citanya kepada Allah Swt
sehingga ia dan cita-citanya menjadi satu. Yaitu mengesakan (bertauhid) yang
hakiki yang tidak dicarinya selain Allah Swt. Orang dalam kezuhudannya orang
ini tidak mengetahui bahwa dirinya ini tidak ada nilainya dibandingkan dengan
Allah Swt. Zuhud ini muncul karena telah makrifat kepada Allah Swt dan ini
adalah zuhud yang paling tinggi tingkatan atau derajatnya.
Berdasarkan tujuannya atau dilihat sisi tujuannya zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan pula:
1.
Zuhud karena ingin selamat dari siksa api neraka seperti
azab kubur
2.
Zuhud karena ingin kepada pahala dan nikmat Allah Swt
3.
Zuhud yang tertinggi karena cinta kepada Allah Swt.
Menurut al-Ghozali dunia yang dibenci itu ialah segala
sesuatu yang ada selain Allah Swt yang umumnya disenangi manusia seperti
kepemimpinan, harta, pangkat, dsb. Itulah sebabnya al-Ghozali mengartikan zuhud
sebagai benci terhadap sesuatu yang menjadikan hawa nafsu. Ketika orang benci
terhadap bagian hawa nafsunya, pasti tidak senang untuk kekal di dunia maka
pasti sedikit lamunannya. Sebaliknya dia mengidam-idamkan kekekalan dan
bersenang-senang dalam kekelannya itu orang yang mencintai kehidupan ini akan
tidak berarti cintanya itu kecuali disertai dengan harapan kekelan sesuatu yang
ada atau yang mungkin ada dalam kehidupan ini. Jika ia membencinya sudah barang
tentu dia tidak menginginkan kekekalannya.
Sikap orang yang ingin kekal di dunia adalah sikap orang
kafir yang tidak mempunyai harapan apa-apa di akhirat bahkan tidak mempercayai,
menginginkan kekal di dunia, ketika telah diwajibkan perang, tiba-tiba sebagian
dari mereka takut kepada manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah Swt
bahakan lebih takut. Mereka berkata ya tuhan kami, mengpa engakau wajibkan kami
berperang kepada kami? Mengpa tidak engkau beri tempo beberapa waktu lagi?
Katakanlah: kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik
untuk orang-orang yang bertaqwa dan kami tidak akan ditanya sedikitpun.
Kata al-Ghozali orang zuhud mencintai Allah Swt panggilan
perang disambut dengan senang hati mereka mengharapkan bisa mati syahid.
Al-Ghozali mencontohkan Kholid bin Walid menangis ketika akan mati sebab ia
mengharapkan bisa mati syahid tetapi kenyataannya tidak bisa. Setelah Khalid
meninggal banyak orang menyaksikan tubuhnya banyak lubang bekas luka akibat
tusukan pedang dalam peperangan.
Orang yang zuhud akan menghadapkan dirinya kepada Allah Swt
dengan sepenuhnya baik pikir maupun dzikir. Tercapainya keadaan demikian
menuntut persyaratan tertentu yaitu adanya sikap dan geraknya atau hanya
tertuju kepada Allah Swt namun aktifitas keduniaan tidak mengurangi maksud
zuhud sepanjang tidak dikotori niat bersenang-senang yang berlebihan dengan hal
tersebut.
Bagi al-Ghozali orang yang zuhud orang yang menjaga badan
ketika lapar dan haus dengan makan dan minum mempunyai sikap tak lengkang
karena panas dan lapuk karena hujan. Dia tidak larut dala kegembiraan terhadap
apa yang ada (yang dimiliki) dan tidak terlalu bersedih, susah terhadap apa
yang lepas daripadanya bersikap wajar ketika dipuji atau dicela dan dia
mencintai Allah Swt. Hal tersebut menunjukkan kondisi psikologis seorang zahid
dia tidak terikat dengan materi, pangkat dan jabatan. Ada atau tidak adanya
adalah sama saja, satu yang dicintai adalah Allah Swt.
Al-Ghozali berpendapat bahwa orang yang apabila fisiknya
bergelimang dengan dunia pasti akan terkena negatifnya. Orang yang mencintai
dengan bergelimang dengan dunia maka hatinya menjadi gelap. Mencintai dunia
menyebabkan hati tidak menyebabkan manisnya ibadah. Al-Ghozali berpebdapat
bahwa dunia adalah sesuatu yang riil, nyata, kongkrit, kenikmatan manusia yang
diperoleh dari yang riil/nyata tersebut dan apapun yang dilakukan manusi dari
yang riil tersebut utnuk dinikmati. Dalam kitab ini banyak diuraikan mengenahi
kekjian dunia dan posisinya sebagai pangkal kejelekan dalam mengemukakan
segi-segi negatif dunia dia menguti[ hadits nabi Saw dan pandangan ulama salaf
Bisyr r.a berkata: zuhud di dunia adalah zuhud pada
manusia. al fadhail berkata zuhud diduania adalah qonaah (merasa cukup
apa yang ada) ini adalah isyarat kepada harta.
Al-Ghozali membagi masalah masalah kehidupan dunia itu
menjadi tiga bagian yaitu pertama, sesuatu yang dapat menghantarkan
kebahagiaan akhirat dan buahnya dapat dinikmati di sana yaitu ilmu dan amal
kedua hal yang bersifat duniawi dan tidak ada buah sama sekali di akhirat yaitu
bersenang-senag dengan nikmat secara berlebih-lebihan dan ketiga pemakaian
hal-hal yang mubah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup secara wajar untuk
mencapai tujuan pertama yaitu tercapainya ilmu dan terwujudnya amal.
Al-Ghozali berpendapat bahwa bagaimana hubungan manusia
dengan dunia adalah bertitik tolak dari sikapnya terhadap dunia itu sendiri.
Sebab menurut dia zuhud itu bertitik tolak dari keadaan hati yang dekat dan
bersifat kekinian dan ayang ada sebelum mati itu adalah dunia. Yang
ditangguhkan sampai sesudah mati itu adalah akhirat dalam kaitannya ini orang
harus benar pandai-pandai mensiasatinya sehingga segala sesuatu baik yang
tampak duniawi dan yang lebih-lebih tampak keuhrawiannya akan bernilai ukhrawi
dipihak lain al-Ghozali menyatakan bahwa dunia itu netral bergantung orang yang
mempergunakannya dia menggambarkan dunia bagaikan ular yang mempunyai bisa yang
membahayakan kehidupan manusia, namun juga ia mempunyai obat penawarnya orang
yang arif tidak akan mempergunakan obat penawarnya untuk merangkul bisanya.
Al-Ghozali menguraikan zuhud sebagai kebutuhan itu
terbagi menjadi pada yang berlebihan (tidak penting) dan pada yang penting.
Yang berlebihan adalah seperti kuda yang cantik umpamanya, karena kebanyakan
manusia menyimpannya untuk bersenang-senang dan ia rela berjalan kaki. Yang
penting itu enam perkara yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal dan
perabotannya, menikah, harta dan kemegahan yang dicari untuk maksud-maksud
tertentu inilah rinciannya.
4. Tanda-tanda Zuhud
Untuk mengetahui seseorang itu berzuhud atau tidak
merupakan sesuatu yang sangat sulit, untuk itu al ghazali menyatakan ada tiga
hal yang dapat menghantarkan seseorang mengetahui orang itu zahid atau tidak.
Ketiga hal tersebut yaitu:
1)
Ia tidak bergembira dengan adanya sesuatu dan tidak
berduka cita dengan tidak adanya sesuatu. Sebagaimana firman Allah Swt pada
surat al hadid ayat: 23, yang berbunyi:
لِكَيلا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا
بِمَا ءَاتيكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَال
Artinya: (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (Qs. Al Hadid:23).
2)
Sama padanya antara orang yang mencelanya dan yang
memujinya. Yang pertama diatas tanda zuhud pada harta dan yang kedua ini tanda
zuhud pada kemegahan.
3)
Kejinakan hatinya kepada Allah Swt dan yang mengerasi
pada hatinya, ialah; kemanisan taatkarena hati tidak pernah terlepas dari
kemanisan kecintaan, adakalanya kecintaan kepada dunia dan adakalanya kecintaan
kepada Allah Swt.
(Pondokbanjar)
Sumber
Bacaan:
Ismail Yakub, Ihya’
Al-Ghazali, Terjemahan, Jakarta, Faizan, Cet.iv, 1992, hlm. 207.
Amin Syukur, Zuhud di Abad
Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 85.