google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Inikah? Pemikiran al-Ghozali tentang Zuhud

AL-GHOZALI memaparkan dalam Kitabnya Ihya’ Ulumuddin bahwasanya zuhud di dunia merupakan kedudukan yang paling mulia bagi orang yang meniti kepada jalan Allah Swt. Zuhud di sini merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan zuhud di dunia untuk kepentingan akhirat baik secara penuh untuk keridhoan Allah Swt, ataupun untuk mendapatkan pahala dan kebahagiaan di akhirat dengan Surga.

Al Ghazali memaparkan mengenahi pengertian tentang Zuhud dengan ibarat dari kebencian kepada dunia, dengan berpaling kepada akhirat. Atau selain Allah Swt, dengan berpaling kepada Allah Swt. Di lain pihak al Ghazali megatakan bahwasanya tidak termasuk zuhud bagi seseorang yang meninggalkan harta dan memberikannya atas jalan kemurahan hati dan ke belas kasihan, atas jalan menarik hati seseorang dan atas jalan kelobaan, karena semua itu termasuk adat kebisaaan manusia yang baik, akan tetapi zuhud di sini adalah meninggalkan dunia karena tahu dengan kehinaan dunia, dikaitkan dengan kebagusan akhirat yang digambarkan oleh orang-orang yang beriman.

Dengan hal tersebut di atas al Ghazali menyatakan bahwa orang yang zuhud adalah siapa yang didatangi oleh dunia dengan memaksa, hatinya bersih dan meminta maaf dan orang itu sanggup menikmati dunia itu, tanpa berkekurangan kemegahan dan buruk nama dan tidak kehilangan bagi diri, lalu ditinggalkannya dunia tadi karena takut hatinya berjinakan dengan dunia. Lalu ia berjinakan hatinya dengan selain Allah Swt dan mencintai bagi yang selain Allah Swt dan ia mempersekutukan kecintaan kepada Allah Swt ta’ala dengan lain atau ia meninggalkan dunia, karena mengharap pahala yang diberikan oleh Allah Swt di akhirat.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa zuhud merupakan perilaku manusia yang dilakukan di dunia dengan berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik dengan benci terhadap sesuatu yang bersifat duniawiyah dengan mengarah kepada perbuatan yang mencintai akhirat atau berpaling dari selain Allah Swt kepada Allah Swt. Sehingga akhirat dan keridhoan Allah Swt merupakan sesuatu yang paling puncak dalam melakukan zuhud.

Al-Ghozali dalam berbicara zuhud mensyaratkan bahwa yang dicintai itu harus lebih baik daripada yang ditinggalkan dan yang ditinggalkan itu ada kemungkinan bisa diperoleh dengan membenci sesuatu yang mustahil, bukan termasuk zuhud. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam zuhud yakni Ilmu, Hal-Ihwal dan Amal. Perwujudan ilmu ialah seseorang betul-betul mengetahui dunia itu lebih rendah nilainya dibanding akhirat. Sedangkan perwujudan hal ihwal (keadaan jiwa) yaitu keadaan batin atau jiwa seseorang yang meninggalkan dunia karena dianggapnya lebih rendah daripada akhirat dan kedua sikap tersebut harus diwujudkan dalam perbuatan (amal).

Dalam memperkuat pendapatnya al-Ghozali banyak mengambil ayat alqur’an, hadits rasul, ucapan para sahabat dan para ulama yang berkaitan dengan hal tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt pada surat Annisa:77 yang berbunyi:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

Artinya: Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.(Qs. An-Nisa: 77).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan dunia sebagaimana yang dipandang oleh orang-orang yang berzuhud (zahid) merupakan sesuatu yang hancur dan tidak abadi sehingga para zahid menginginkan suatu kehidupan yang abadi untuk itu para zahid melakukan perjuangan dalam mewujudkan kehidupan yang abadi dengan berusaha membenci terhadap dunia dengan berbagai macam bentuknya, dan kemudian memusatkan kehidupan di dunianya untuk kepentingan akhirat dan keridhoan Allah Swt.

1. Hukum Zuhud
Berbicara mengenahi hukum zuhud al Ghazali sebagaimana yang dikutipnya dari perkataan Ibrahim bin Adham membagi dengan tiga macam yaitu: Pertama, Fardlu untuk zuhud kepada yang haram. Kedua, zuhud kepada yang halal. Dan ketiga adalah selamat yang merupakan zuhud kepada yang syubhat (yang diragukan tentang hal atau haramnya). Semua hukum ini tergambar pada aplikasi zuhud dalam kehidupan para zahid, khususnya dalam melakukan perbuatan dan tanggapan terhadap kehidupan dunia pada zaman sekarang. Dengan hal tersebut jelas bahwa bentuk zuhud pada zaman sekarang tidaklah semurni zuhudnya para nabi, sahabat dan ulama pada masa dahulu, melainkan zuhud yang sudah dipahami dengan berbagai macam interpretasi ataupun penafsiran yang kontekstual.

2. Derajat-derajat dan tujuan Zuhud
Karena zuhud merupakan suatu sikap, maka ia bertingkat-tingkat (derajat zuhud) kadang berlebih dan kadang juga berkurang untuk itu al-Ghazali membagi menjadi tiga yaitu:
1) Tingkat yang terendah, orang yang zuhud di dunia dan ia rindu kepadanya. akan tetapi hatinya masih cenderung kepada dunia. Nafsunya berpaling kepada dunia. akan tetapi, ia berusaha sungguh-sungguh mencegahnya. Orang ini berusaha untuk tetap zuhud, tingkatan ini disebut mutazahhid (orang yang berusaha untuk zuhud) dan ini adalah langkah awal untuk zuhud.
2) Meninggalkan dunia dengan mudah, karena dipandangnya hina dunia itu, dengan dikaitkan yang diharapkannya. Artinya zahid di sini menginginkan balasan dari Allah Swt.

3) Zuhud yang tertinggi, dimana tidak ada keinginan suatu apapun, selain kepada Allah Swt dan kepada menemui Allah Swt. Hatinya tidak berpaling pada kesakit-sakitan dengan maksud hendak melepaskan diri daripadanya. Zahid di sini menghabiskan semua cita-citanya kepada Allah Swt sehingga ia dan cita-citanya menjadi satu. Yaitu mengesakan (bertauhid) yang hakiki yang tidak dicarinya selain Allah Swt. Orang dalam kezuhudannya orang ini tidak mengetahui bahwa dirinya ini tidak ada nilainya dibandingkan dengan Allah Swt. Zuhud ini muncul karena telah makrifat kepada Allah Swt dan ini adalah zuhud yang paling tinggi tingkatan atau derajatnya.

Berdasarkan tujuannya atau dilihat sisi tujuannya zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan pula:
1. Zuhud karena ingin selamat dari siksa api neraka seperti azab kubur
2. Zuhud karena ingin kepada pahala dan nikmat Allah Swt
3. Zuhud yang tertinggi karena cinta kepada Allah Swt.

Menurut al-Ghozali dunia yang dibenci itu ialah segala sesuatu yang ada selain Allah Swt yang umumnya disenangi manusia seperti kepemimpinan, harta, pangkat, dsb. Itulah sebabnya al-Ghozali mengartikan zuhud sebagai benci terhadap sesuatu yang menjadikan hawa nafsu. Ketika orang benci terhadap bagian hawa nafsunya, pasti tidak senang untuk kekal di dunia maka pasti sedikit lamunannya. Sebaliknya dia mengidam-idamkan kekekalan dan bersenang-senang dalam kekelannya itu orang yang mencintai kehidupan ini akan tidak berarti cintanya itu kecuali disertai dengan harapan kekelan sesuatu yang ada atau yang mungkin ada dalam kehidupan ini. Jika ia membencinya sudah barang tentu dia tidak menginginkan kekekalannya.

Sikap orang yang ingin kekal di dunia adalah sikap orang kafir yang tidak mempunyai harapan apa-apa di akhirat bahkan tidak mempercayai, menginginkan kekal di dunia, ketika telah diwajibkan perang, tiba-tiba sebagian dari mereka takut kepada manusia (musuh) seperti takutnya kepada Allah Swt bahakan lebih takut. Mereka berkata ya tuhan kami, mengpa engakau wajibkan kami berperang kepada kami? Mengpa tidak engkau beri tempo beberapa waktu lagi? Katakanlah: kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kami tidak akan ditanya sedikitpun.

Kata al-Ghozali orang zuhud mencintai Allah Swt panggilan perang disambut dengan senang hati mereka mengharapkan bisa mati syahid. Al-Ghozali mencontohkan Kholid bin Walid menangis ketika akan mati sebab ia mengharapkan bisa mati syahid tetapi kenyataannya tidak bisa. Setelah Khalid meninggal banyak orang menyaksikan tubuhnya banyak lubang bekas luka akibat tusukan pedang dalam peperangan.

Orang yang zuhud akan menghadapkan dirinya kepada Allah Swt dengan sepenuhnya baik pikir maupun dzikir. Tercapainya keadaan demikian menuntut persyaratan tertentu yaitu adanya sikap dan geraknya atau hanya tertuju kepada Allah Swt namun aktifitas keduniaan tidak mengurangi maksud zuhud sepanjang tidak dikotori niat bersenang-senang yang berlebihan dengan hal tersebut.

Bagi al-Ghozali orang yang zuhud orang yang menjaga badan ketika lapar dan haus dengan makan dan minum mempunyai sikap tak lengkang karena panas dan lapuk karena hujan. Dia tidak larut dala kegembiraan terhadap apa yang ada (yang dimiliki) dan tidak terlalu bersedih, susah terhadap apa yang lepas daripadanya bersikap wajar ketika dipuji atau dicela dan dia mencintai Allah Swt. Hal tersebut menunjukkan kondisi psikologis seorang zahid dia tidak terikat dengan materi, pangkat dan jabatan. Ada atau tidak adanya adalah sama saja, satu yang dicintai adalah Allah Swt.

Al-Ghozali berpendapat bahwa orang yang apabila fisiknya bergelimang dengan dunia pasti akan terkena negatifnya. Orang yang mencintai dengan bergelimang dengan dunia maka hatinya menjadi gelap. Mencintai dunia menyebabkan hati tidak menyebabkan manisnya ibadah. Al-Ghozali berpebdapat bahwa dunia adalah sesuatu yang riil, nyata, kongkrit, kenikmatan manusia yang diperoleh dari yang riil/nyata tersebut dan apapun yang dilakukan manusi dari yang riil tersebut utnuk dinikmati. Dalam kitab ini banyak diuraikan mengenahi kekjian dunia dan posisinya sebagai pangkal kejelekan dalam mengemukakan segi-segi negatif dunia dia menguti[ hadits nabi Saw dan pandangan ulama salaf

Bisyr r.a berkata: zuhud di dunia adalah zuhud pada manusia. al fadhail berkata zuhud diduania adalah qonaah (merasa cukup apa yang ada) ini adalah isyarat kepada harta.

Al-Ghozali membagi masalah masalah kehidupan dunia itu menjadi tiga bagian yaitu pertama, sesuatu yang dapat menghantarkan kebahagiaan akhirat dan buahnya dapat dinikmati di sana yaitu ilmu dan amal kedua hal yang bersifat duniawi dan tidak ada buah sama sekali di akhirat yaitu bersenang-senag dengan nikmat secara berlebih-lebihan dan ketiga pemakaian hal-hal yang mubah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup secara wajar untuk mencapai tujuan pertama yaitu tercapainya ilmu dan terwujudnya amal.

Al-Ghozali berpendapat bahwa bagaimana hubungan manusia dengan dunia adalah bertitik tolak dari sikapnya terhadap dunia itu sendiri. Sebab menurut dia zuhud itu bertitik tolak dari keadaan hati yang dekat dan bersifat kekinian dan ayang ada sebelum mati itu adalah dunia. Yang ditangguhkan sampai sesudah mati itu adalah akhirat dalam kaitannya ini orang harus benar pandai-pandai mensiasatinya sehingga segala sesuatu baik yang tampak duniawi dan yang lebih-lebih tampak keuhrawiannya akan bernilai ukhrawi dipihak lain al-Ghozali menyatakan bahwa dunia itu netral bergantung orang yang mempergunakannya dia menggambarkan dunia bagaikan ular yang mempunyai bisa yang membahayakan kehidupan manusia, namun juga ia mempunyai obat penawarnya orang yang arif tidak akan mempergunakan obat penawarnya untuk merangkul bisanya.

Al-Ghozali menguraikan zuhud sebagai kebutuhan itu terbagi menjadi pada yang berlebihan (tidak penting) dan pada yang penting. Yang berlebihan adalah seperti kuda yang cantik umpamanya, karena kebanyakan manusia menyimpannya untuk bersenang-senang dan ia rela berjalan kaki. Yang penting itu enam perkara yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal dan perabotannya, menikah, harta dan kemegahan yang dicari untuk maksud-maksud tertentu inilah rinciannya.

4. Tanda-tanda Zuhud
Untuk mengetahui seseorang itu berzuhud atau tidak merupakan sesuatu yang sangat sulit, untuk itu al ghazali menyatakan ada tiga hal yang dapat menghantarkan seseorang mengetahui orang itu zahid atau tidak. Ketiga hal tersebut yaitu:
1) Ia tidak bergembira dengan adanya sesuatu dan tidak berduka cita dengan tidak adanya sesuatu. Sebagaimana firman Allah Swt pada surat al hadid ayat: 23, yang berbunyi:
لِكَيلا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتيكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَال
Artinya: (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs. Al Hadid:23).

2) Sama padanya antara orang yang mencelanya dan yang memujinya. Yang pertama diatas tanda zuhud pada harta dan yang kedua ini tanda zuhud pada kemegahan.

3) Kejinakan hatinya kepada Allah Swt dan yang mengerasi pada hatinya, ialah; kemanisan taatkarena hati tidak pernah terlepas dari kemanisan kecintaan, adakalanya kecintaan kepada dunia dan adakalanya kecintaan kepada Allah Swt. (Pondokbanjar)


Sumber Bacaan:
Ismail Yakub, Ihya’ Al-Ghazali, Terjemahan, Jakarta, Faizan, Cet.iv, 1992, hlm. 207.
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 85.