google.com, pub-2032731931779399, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Inilah Makna Pelaksanaan Tradisi Slametan Kematian: Pembacaan Tahlil dan Yasin

KEMATIAN selain tidak dapat diramalkan juga berada diluar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita akan mati, namun hampir tak seorangpun   mengetahui  kapan   kematian  itu  akan  terjadi.  Tak  seorangpun,  selain barangkali orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya.

Mungkin karena ketidakpastian inilah kita menentukan interpretasi-interpretasi keagamaan tentang kematian dalam setiap masyarakat. Kematian tidak hanya menunjukkan ketiadaan dan kefanaan, namun kematian merupakan putusnya hubungan antara roh dan jasad, terpisah antara keduanya, berarti  pula berpindahnya  dari  satu  kehidupan  ke kehidupan lain.

Oleh karena itu, tidak perlu diragukan bahwa upacara kematian tampak sebagai ritus religius yang sangat penting. Demikian juga agama Islam mengajarkan para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah. Dalam Islam upacara kematian, pada saat mempersiapkan penguburan orang mati ditandai dengan memandikan, mengkafani, mensholati, dan pada akhrinya menguburkan.

Menurut keyakinan Islam orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal  sementara waktu di alam kubur atau alam barzah. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa, hanya saja menurut orang Jawa, arwah orang-orang tua  sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau arwah leluhur menetap di makam.

Mereka masih mempunyai kontak hubungan  dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang ke kediaman anak keturunan. Dari sinilah kemudian timbul upacara  slametan kematian. Dan disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang meninggal dunia perlu dikirim doa, maka muncul tradisi kirim doa setelah seseorang meninggal dunia.

Secara umum pelaksanaan  slametan kematian dalam masyarakat Jawa dilaksanakan dari hari-hari tertentu sampai tahun ketiga (seribu hari). Pada malam hari sesudah yang meninggal dikubur, keluarga mengadakan slametan ngesur tanah. Ngesur tanah disini berarti memindakan dari alam fana ke alam baka, asal dari tanah kembali ke asal mula menjadi tanah.

Setelah itu slametan diadakan lagi pada hari ketiga (nelung dina), hari ketujuh (mitung dina), empat puluh hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendak sepisan), dua tahun (mendak pindo) dan tiga tahun (nyewu).

Hari-hari pelaksanaan slametan kematian tentu saja memiliki makna khusus dalam perhitungannya. Ngesur tanah atau geblak mempunyai arti memindahkan dari alam fana ke alam baka,  asal dari tanah menjadi tanah. Nelung dina, yaitu untuk menyempurnakan empat  perkara  yang disebut   anasir, yaitu bumi, api, angin, dan air. Mitung dina maksudnya menyempurnakan kulit dan kukunya.

Matang puluh dina untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging, sumsum, isi perut, rambut, tulang, dan otot. Nyatus untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan (jasad).  Mendak pisan untuk menyempurnakan kulit, daging dan isi perutnya. Mendak pindo untuk menyempurnakan semua kulit darah dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Dan nyewu untuk menyempurnakan semua rasa dan bau hingga sudah lenyap.

Peringatan seribu hari itu biasanya dibarengkan pula dengan ngijing atau pemasangan batu nisan. Semua  slametan kematian ditandai dengan hidangan perlambang yaitu kue dari beras yang disebut  apem.  Apem ini melambangkan  ikhlas.

Selain itu juga dihidangkan makanan-makanan lain dan sesajian yang masing-masing pun memiliki makna sendiri-sendiri. Selain unsur-unsur tersebut di atas, unsur penting dari  slametan kematian adalah zikir, tahlil dan kirim  doa kepada orang yang sudah meningggal tersebut.

Inilah Islam rahmatan lil alamin, menjadi agama yang penuh dengan kedamaian tanpa merusak tatanan kearifan lokal masyarakat. Dan disitulah jalan dawah Islam yang sesungguhnya. Di manapun berada Agama Islam mampu diterima sesuai dengan karakter dan tradisi masyarakat setempat, tentu tradisi masyarakat Arab dengan Jawa memiliki perbedaan. Seperti upacara selamatan dan pembacaan tahlil untuk acara kematian (mayit). Karena unsur penting dari  slametan kematian adalah zikir, tahlil dan kirim  doa kepada orang yang sudah meningggal tersebut.

Di masyarakat unsur penting tersebut berwujud acara tahlilan dan yassin atau pembacaan surat yassin. Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah”.  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa-doa tertentu yang diambil dari ayat al-Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.

Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ
“Dari sahabat Ma’qal bin Yasar Ra, bahwa Rasulallah Saw. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian”. (HR. Abu Dawud)

Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
“Bahwa, disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik”.

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah Saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya. Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya akan lebih bermanfaat bagi si mayit.

Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ

“Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut”.

Karena pada dasarnya unsur penting dari  slametan kematian adalah zikirtahlil dan kirim  doa kepada orang yang sudah meningggal tersebut. Dan inilah Islam rahmatan lil alamin. (Pondokbanjar)