KEMATIAN selain tidak dapat diramalkan
juga berada diluar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita
akan mati, namun hampir tak seorangpun
mengetahui kapan kematian
itu akan terjadi.
Tak seorangpun, selain barangkali orang yang bunuh diri,
dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya.
Mungkin karena
ketidakpastian inilah kita menentukan interpretasi-interpretasi keagamaan
tentang kematian dalam setiap masyarakat. Kematian tidak hanya
menunjukkan ketiadaan dan kefanaan, namun kematian merupakan putusnya hubungan
antara roh dan jasad, terpisah antara keduanya, berarti pula berpindahnya dari satu
kehidupan ke kehidupan lain.
Oleh karena itu,
tidak perlu diragukan bahwa upacara kematian tampak sebagai ritus religius yang
sangat penting. Demikian juga agama Islam mengajarkan para pemeluknya melakukan
kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud dengan kegiatan ritualistik adalah
meliputi berbagai bentuk ibadah. Dalam Islam upacara kematian, pada saat
mempersiapkan penguburan orang mati ditandai dengan memandikan, mengkafani,
mensholati, dan pada akhrinya menguburkan.
Menurut keyakinan
Islam orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara waktu di alam kubur atau alam
barzah. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa, hanya saja menurut
orang Jawa, arwah orang-orang tua
sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar
tempat tinggalnya, atau arwah leluhur menetap di makam.
Mereka masih
mempunyai kontak hubungan dengan
keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu datang ke kediaman anak
keturunan. Dari sinilah kemudian timbul upacara
slametan kematian. Dan disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa
orang meninggal dunia perlu dikirim doa, maka muncul tradisi kirim doa setelah
seseorang meninggal dunia.
Secara umum
pelaksanaan slametan kematian dalam
masyarakat Jawa dilaksanakan dari hari-hari tertentu sampai tahun ketiga
(seribu hari). Pada malam hari sesudah yang meninggal dikubur, keluarga
mengadakan slametan ngesur tanah. Ngesur tanah disini berarti
memindakan dari alam fana ke alam baka, asal dari tanah kembali ke asal mula
menjadi tanah.
Setelah itu slametan
diadakan lagi pada hari ketiga (nelung dina), hari ketujuh (mitung
dina), empat puluh hari (matang puluh), 100 hari (nyatus),
satu tahun (mendak sepisan), dua tahun (mendak pindo)
dan tiga tahun (nyewu).
Hari-hari
pelaksanaan slametan kematian tentu saja memiliki makna khusus dalam
perhitungannya. Ngesur tanah atau geblak mempunyai arti memindahkan
dari alam fana ke alam baka, asal dari
tanah menjadi tanah. Nelung dina, yaitu untuk menyempurnakan empat perkara
yang disebut anasir, yaitu bumi,
api, angin, dan air. Mitung dina maksudnya menyempurnakan kulit dan
kukunya.
Matang puluh dina untuk menyempurnakan pembawaan
dari ayah dan ibu berupa darah, daging, sumsum, isi perut, rambut, tulang, dan otot.
Nyatus untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan (jasad). Mendak pisan untuk menyempurnakan kulit,
daging dan isi perutnya. Mendak pindo untuk menyempurnakan semua kulit
darah dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Dan nyewu untuk
menyempurnakan semua rasa dan bau hingga sudah lenyap.
Peringatan seribu
hari itu biasanya dibarengkan pula dengan ngijing atau pemasangan batu nisan. Semua slametan kematian ditandai dengan hidangan
perlambang yaitu kue dari beras yang disebut
apem. Apem ini
melambangkan ikhlas.
Selain itu juga dihidangkan
makanan-makanan lain dan sesajian yang masing-masing pun memiliki makna
sendiri-sendiri. Selain unsur-unsur tersebut di atas, unsur penting dari slametan kematian adalah zikir, tahlil
dan kirim doa kepada orang yang sudah
meningggal tersebut.
Inilah Islam
rahmatan lil alamin, menjadi agama yang penuh dengan kedamaian tanpa merusak
tatanan kearifan lokal masyarakat. Dan disitulah jalan dawah Islam yang
sesungguhnya. Di manapun berada Agama Islam mampu diterima sesuai dengan
karakter dan tradisi masyarakat setempat, tentu tradisi masyarakat Arab dengan
Jawa memiliki perbedaan. Seperti upacara selamatan dan pembacaan tahlil untuk
acara kematian (mayit). Karena unsur penting dari slametan kematian adalah zikir, tahlil
dan kirim doa kepada orang yang sudah
meningggal tersebut.
Di masyarakat unsur
penting tersebut berwujud acara tahlilan dan yassin atau pembacaan surat
yassin. Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu (
يُهَلِّلُ ) tahlilan
(
تَهْلِيْلاً ) artinya
adalah membaca “Laila illallah”. Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah
tradisi membaca kalimat dan doa-doa tertentu yang diambil dari ayat al-Qur’an,
dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.
Bacaan ayat-ayat
al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh
dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil,
diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عَنْ
سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ
يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى
مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ,
اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ,
اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ
“Dari sahabat
Ma’qal bin Yasar Ra, bahwa Rasulallah Saw. bersabda : surat Yasin adalah pokok
dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali
diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal
dunia di antara kalian”. (HR.
Abu Dawud)
Imam Syafi’i yang
mengatakan bahwa
وَيُسْتَحَبُّ
اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ
كَانَ حَسَنًا
“Bahwa, disunahkan membacakan
ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan
lebih baik”.
Imam Nawawi dalam
kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga
disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu
setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.
Begitu juga Imam
al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’
kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah Saw pernah
membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari
bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah
ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi
kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit,
lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan
teman-temannya. Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya akan lebih
bermanfaat bagi si mayit.
Abul Walid Ibnu
Rusyd juga mengatakan
وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
“Seseorang yang
membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala
tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut”.
Karena pada dasarnya unsur penting dari slametan kematian adalah zikir, tahlil dan kirim doa kepada orang yang sudah meningggal tersebut. Dan inilah Islam rahmatan lil alamin. (Pondokbanjar)